Foto (dari) udara, dan kemudian citra satelit (dan akhirnya rekaman drone) di media sosial, telah memperkaya jelajah spasial kita. Tapi untuk jelajah keruangan terestrial (halah, sok sekolahan), jalan kaki menerobos tanah kosong dan kampung tetap lebih menarik.
Jelajah sepintas ini saya lakukan suatu pagi saat mencari sarapan. Seorang kawan, sebut saja Billy Selalu Pagi, memberi info: ada perkampungan dan warung di belakang sebuah kantor.
AKSES. Keberadaan pintu ini tak terlalu menonjol kecuali saat terlihat ada orang keluar dari sana. Tentu ini pintu untuk jalan pintas.
Saya ikuti petunjuknya. Bermula dari pintu kecil pada pagar seng di tepi jalan, kemudian sampai di tanah kosong bekas hunian, dan seterusnya…
PELINTAS. Jalan kecil ini masih dilintasi. Pagi itu dua kali saya berserobok dengan orang berangkat kerja.SAMPAILAH KE UJUNG. Jalan saya terlalu cepat sehingga tanpa sadar menyusul seorang ibu sedang mengantar anaknya bersekolah di kampung itu.JENDELA SETENGAH TERBUKA. Menarik, masih ada jendela tanpa teralis, di pinggir jalan pula.LARIS MANIS MERINGIS. Belum pukul tujuh, gorengan tinggal sedikit. Tahu isi atau tahu susur sudah habis.NASI UDUK MASIH ADA. Aneka gorengan tak lengkap lagi, tapi sarapan bernasi masih tersedia. Di warung kecil ini mayoritas pembelinya membawa pulang kudapan. Ruang di dalam hanya cukup satu orang.WARTEG JUGA ADA. Warung tegal di seberang warung nasi uduk. Ada berapa banyak warteg di DKI — dan berapa persen yang memasang atribut “bahari” sesuai slogan Tegal?