JADI, APAKAH YANG DISEBUT PERENCANAAN? | “Sembarangan!” kata Anda. Tak ada jembatan penyeberangan orang (JPO) di dekat Stasiun Cawang, Jakarta Selatan, yang terputus. Memang, ada dua sudut jembatan yang termangu, saling berhadapan. Mereka tak terhubungkan. Dengan foto yang lebih bagus, dan tentu sudut pandangnya tepat, dua pucuk halte berhadapan itu cocok untuk sampul CD/vinyl.
Setahu saya, sejak awal memang begitu. Jadi memang kurang tepat kalau saya katakan terputus karena sebelumnya tidak tersambung. Kedua sisi jembatan itu berdiri sendiri-sendiri namun dengan fungsi yang sama: melayani dua halte busway Transjakarta yang terpisah, dan nama haltenya pun sama, yakni Cikokol – Stasiun Cawang.
Kalau begitu salah dong menyebut jembatan itu penyeberangan? Setengah salah, seperempat benar, dan sisanya biar dijawab oleh orang Pemprov DKI dan PT Kereta Api Indonesia.
Setengah salah kalau menyebut jembatan itu untuk menyeberang dari sisi utara Jalan M.T. Haryono ke selatan (seberang), atau sebaliknya, yang disela oleh Jalan Tol Dalam Kota di tengah. (→ Lihat foto dan peta)
Kalau paparan barusan membingungkan, ada yang (semoga) lebih simpel. Jembatan itu bukan untuk menghubungan sisi A (utara) dan sisi B (selatan), atau sebaliknya.
Seperempat benar jika menyebut jembatan itu hanya untuk menyeberangi satu sisi searah di utara, atau di selatan, dari trotoar ke halte busway di tengah jalan. Atau sebaliknya, dari halte ke trotoar. Pokoknya supaya penyeberang tak tertabrak mobil dan motor.
Mau paparan yang lebih sederhana? Jembatan di sisi A hanya untuk menuju dan dari halte A. Jembatan di sisi B hanya untuk menuju dan dari halte B.
Bagaimana kalau penumpang bus Transjakarta dari sisi A ingin ke halte sisi B, seperti pada halte lainnya?
Silakan cari jalan memutar lainnya, lewat jalan kolong. Atau bisa juga lewat jembatan penyeberangan lainnya.
Yang namanya jalan kolong pun kurang manusiawi. Tapi bagi penyedianya (PT KAI?) mungkin saja ada pembenar, “Sudah bagus dikasih jalan, jangan minta yang berlebihanlah!”
Dugaan saya jalan itu bukan untuk lalu lintas orang. Lorong yang lebarnya tak sampai semeter itu tampaknya hanya semacam jalan inspeksi. Begitu sempitnya jalan sehingga merepotkan saat berpapasan. Apalagi jika yang berpapasan sama-sama berbadan lebar dengan ukuran celana di atas 40.
Meskipun sempit, itulah rute terdekat bagi penumpang Transjakarta yang turun di halte sisi B dan akan melanjutjan perjalanan naik sepur dari Stasiun Cawang.
Dari Stasiun Cawang mau ke trotoar sisi A, untuk kemudian naik jembatan menuju halte A? Ada jalan menanjak, mungkin dulunya jalan setapak pada tebing turap jalan, menuju trotoar.
Dari trotoar sisi B, jalan menuju terowongan juga tak diketahui semua orang. Kalau saat ramai orang sih kita tinggal mengikuti. Tapi pada jam tanggung, misalnya pukul sepuluh pagi, kadang tak ada orang jalan kaki yang bisa ditanyai. Jangankan orang luar kota, orang Jakarta yang tak pernah ke Stasiun Cawang pun bisa pusing.
Sialkah nian nasib pejalan kaki di negeri ini? Tidak, Bung. Ti-dak! Negeri ini ber-Pancasila, memiliki sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Keren to?
Belajarlah bersyukur. Apa yang ada sekarang, padahal sebelumnya tak ada (termasuk jembatan pruthul itu) adalah bukti kemajuan. Ada progres. Meskipun telat.
Telat itu bukan karena pemimpin yang sekarang bodoh. Untuk KAI, kemajuan besar dicapai setelah dipimpin Ignasius Jonan. Untuk DKI kemajuan besar kelihatan setelah dipegang Jokowi dan kemudian Ahok.
Kenapa pemimpin-pemimpin sebelumnya tak selayak yang tadi? Ini pertanyaan tabu. Ada saja yang bilang, “Move on, dong! Yang sudah ya sudah.”
Enak ya jadi pemimpin dari era “yang sudah ya sudah”. Semua masalah bisa digantung, diserahkan kepada penggantinya. Celaka nian kalau si pengganti yang mewarisi timbunan masalah juga akan berpikir serupa. Repotnya, bola salju itu kian membesar dan membesar.