Penganten Ali

▒ Lama baca 2 menit

antyo-koran-tempo-2014Emah, mempelai perempuan, terjatuh dari tandu saat melintasi wot atawa jembatan. Ali, mempelai pria, melompat ke sungai deras untuk menyelamatkan Emah. Mereka hilang terbawa arus. Koran Tempo (8 Desember 2014) mengisahkan riwayat nama Jalan Penganten Ali di Ciracas, Jakarta Timur, itu.

Rezim Google sudah memasukkan jalan itu ke dalam peta, lengkap dengan Street View (bit.ly/1u6l30h) rekaman April 2013. Tentu pelat nomor mobil/sepeda motor dan wajah warga sudah dikaburkan. Nomor rumah? Tetap tampak. Misalnya nomor 21 di warung rokok, sebelah warung bubur Pancarasa. Kita tak tahu apakah akan menjumpai nomor itu dalam captcha, sebuah cara penyandian yang menyalin angka dan huruf dalam gambar menjadi ketikan teks. Bisa saja secara acak ReCaptcha Google menggabungkan foto nomor rumah Anda di Jurangmangu, Banten, dan rumah entah siapa di Derby Line, perbatasan Amerika-Kanada.

Kini, jika alamat Anda tak ada dalam peta Google dan layanan panduan GPS (global positioning system), sebagian orang akan menganggapnya terra incognita — untuk mencapainya harus menggunakan “GPS” versi ledekan kaum muda: “Guide Penduduk Setempat”. Pada era kertas, yakni peta Jabodetabek yang dirintis dan diproduksi orang Jerman Gunther W. Holtorf sejak 1980-an, ledekannya adalah, “Kalau belum masuk petanya orang Jerman berarti antah berantah.”

Mulanya Holtorf mengikuti penamaan jalan versi pemerintah. Tapi akhirnya dia berkompromi: juga menggunakan penamaan versi penduduk. Misalnya Jalan Dokter Ratna untuk mengaliaskan Jalan Wibawa Mukti 3 di Jatiasih, Bekasi (Peta Jabotabek, edisi ke-11, 1997, hal. 68).

Dokter Ratna? Mulanya itu penamaan oleh sopir angkot dalam menawarkan trayek: “Ratna! Ratna! Ratna!” Ratna adalah nama klinik di Jalan Wibawa Mukti 3. Kini Peta Google menyebutnya Jalan Dr Ratna, dengan Street View rekaman Agustus 2013. StreetDirectory.co.id menyebutnya “Dr Ratna”. Penamaan versi pemerintah daerah pun kalah.

Bagaimana di Yogyakarta? Dalam Google Map masih ada Jalan Gejayan, membujur dari Demangan di selatan hingga Jalan Lingkar Luar di utara, sepanjang hampir 4 kilometer. Padahal Gejayan akhirnya hanya ada di wilayah Kota, sekitar 200 meter, dan sisanya di wilayah Sleman menjadi Affandi sejak 2007. Untunglah Wikimapia lebih cermat: ada batas Gejayan dan Affandi di antara gardu PLN (Kota) dan Auditorium RRI (Sleman).

Apa boleh buat, toponimi juga memuat tarik-menarik penamaan. Nama yang hidup dalam masyarakat belum tentu menjadi resmi. Velbak di Jakarta Selatan, bukan nama jalan, tempat Tempo berkantor, adalah penyebutan lidah lokal untuk “vuilnisbak” (bahasa Belanda, tempat pembuangan sampah; Koran Tempo, 8 September 2014).

Namun penamaan resmi untuk jalan pun belum tentu terpahami oleh warga. Tak semua orang Salatiga, Jawa Tengah, kenal Osa Maliki yang diabadikan untuk jalan sepanjang hampir 2 kilometer sejak 1970. Beberapa teman kelahiran Bogor, Jawa Barat, tak tahu siapa itu Kapten Muslihat.

Antyo Rentjoko dalam Koran Tempo, Rabu 10 Desember 2014

Tinggalkan Balasan