↻ Lama baca 2 menit ↬

iklan payung gratis hoka-hoka bento dalam koran tempo

PAYUNG ANDA ITU BELI ATAU GRATIS? | Melihat iklan payung gratis dari HokBen hari ini saya teringat kata sakti “payung gratis” dan “payung promosi”. Ya, saya juga ingat “jam dinding gratis”. Kadang diperkaya bumbu, “Anda belum beruntung.”

Sebelum ke mana-mana, saya akan ceritakan kesan saya tentang iklan ini. Hari-hari ini cuaca Jakarta dan sekitarnya membingungkan. Kadang gerimis tapi lebih sering mendung. Tak hujan tak panas, tak ada alasan untuk berpayung. Mungkin si pengiklan menyambut kemarau karena percaya jadwal iklim lama bahwa Juni itu kemarau. Oh, bisa juga pengiklan percaya kepada Sapardi Djoko Damono, bakal ada Hujan Bulan Juni.

Payung gratis tak ditakzimi?

Orang mentertawakan payung gratisan karena saking lumrahnya sehingga hilang pun tak mendatangkan sesal pengganjal hati. Padahal kalau tak ada payung di saat hujan bisa merepotkan. Untuk urusan ini tak ada perbedaan seksual: laki dan perempuan sama-sama butuh payung saat hujan.

Butuh payung itu karena untuk jalan kaki. Jalan kakinya bisa cuma 20 langkah dari depan lobi sampai parkiran. Bagusnya, selalu (minimal sering) ada satpam yang siap dengan payungnya. Tak ada satpam berpayung? Semoga ada ojek payung.

Ya, ojek payung! Sejak kapan ada? Sebagai istilah, di Jakarta, kalau tak salah medio tahun 80-an. Sebagai praktik? Mungkin awal 1980-an, atau malah lebih awal, 1970-an.

Itulah perlunya perburuan dokumentasi, dari arsip koran tentang jasa payung sampai footages berisi anak-anak menawarkan payung. Dari sana akan kita peroleh tarikh. Ingatan saya tentang ojek payung adalah tubuh anak-anak basah kuyup karena payung dipakai oleh penyewa. Anak-anak itu tak dapat menumpang berteduh untuk mengawal payungnya.

Foto Antara yang dimuat oleh Beritagar ke Pinterest, ini seperti sebuah ironi. Tasikmalaya, Jabar, yang dulu terkenal dengan payung kertasnya, betul si payung geulis (ini jugakah yang dimaksudkan sebagai Payung Fantasi oleh Ismail Marzuki?), akhirnya menyerah kepada payung sintetis buatan Cina, termasuk payung yang ditawarkan oleh anak-anak ojek payung.

Kalau soal asal muasalnya, payung memang dari Tiongkok. Tentang kekalahan, itu sebuah kekalahan yang masuk akal karena seeksotis apapun payung kertas itu adalah benda berat dan merepotkan.

ojek payung di tasikmalaya jawa barat dalam facebook beritagar

Mengenang payung (tanpa fantasi) kesukaan bule

Saya bersentuhan dengan payung kertas, yang bergagang kayu melinjo, itu awal 1970-an, di Salatiga, Jateng. Saat itu saya masih SD, dan payung berbahan kain juga marak — umumnya berwarna hitam dan yang model payung lipat bisa bermotif bunga.

Suatu hari payung kertas yang saya pegang saat melintasi alun-alun tertiup angin, bersamaan dengan sambaran geledek pengisi hujan deras. Tangkai payung patah. Kertasnya robek. Payung semplok tetap saya bawa pulang sambil berhuhan-hujan. Untuk bukti. Kalau saya buang di jalan nanti disangka payungnya saya hilangkan.

Saya ingat merek payung itu AA. Buatan Ambarawa, Jateng. Beberapa tahun kemudian, akhir 1970-an, Kompas memuat laporan berkisah tentang payung AA dari Ambarawa, lengkap dengan rinai hujan dalam foto. Semoga ingatan saya tak salah.

Seperti payung kertas lainnya, AA menggunakan kertas cokelat bergaris mirip penyaampul buku (maka disebut kertas payung; kalau mau lihat tampang kertasnya ada di blog Barang Antik Online). Bagaimana cara membuat payung kertas, lihat di Tarumpah.

Nah, yang saya ingat tentang payung AA dan yang sejenis adalah kertas payungnya tak dihias, hanya dipernis agar tahan air. Ada sih payung kertas bergambar bunga tampak di Salatiga tapi jumlahnya tak sebanyak payung kertas polos.

Saya tak tahu berapa gram berat payung kertas. Pokoknya berat apalagi bila dibandingkan payung lipat. Anehnya meskipun berat dan merepotkan, orang-orang kulit putih di Salatiga dulu senang menggunakan payung kertas. Mungkin karena eksotis. Sebagian dari bule-bule yang bukan albino datang setahun sekali dalam jumlah banyak, dari Australia, untuk pertukaran budaya.

Empat pertanyaan tentang payung untuk pria

Daripada hanya bernostalgia tentang payung, lebih menarik saya menanyakan ini kepada Anda:

1. Jika Anda pria apakah Anda juga berpayung saat panas?

2. Apakah pada musim hujan, untuk Anda yang pria, Anda juga berbekal payung? Catatan: kalau Anda naik angkutan umum termasuk taksi

3. Jika Anda pria pernahkah Anda membeli payung?

4. Di rumah Anda, dan kantor Anda, terlepas dari siapa pemiliknya, ada berapa payung gratis dan payung yang didapat dengan beli?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *