Juragan toko dan kedai kelak akan makin banyak yang suka kalau tempatnya difoto. Tak perlu bayar biaya promosi.
↻ Lama baca 3 menit ↬

Dekorasi sisi luar Coconut Island di Mall @ Alam Sutera yang mengundang  orang berfotoria

BAGAIMANA KALAU JURAGANNYA MASIH ANTIFOTO? | Sebelum ada fotografi digital, apalagi pakai ponsel, berfotoria di toko dan kedai dianggap keterlaluan. Saya pernah melakukannya pada awal-medio 1990-an. Orang sekitar seolah menganggap aneh saya dan anak saya ketika berfoto di depan orang-orangan karton di depan sebuah toko dalam mal.

Begitu pula berfoto dalam perjalanan dengan bus antarkota pada masa itu. Hal sama terjadi ketika mengudap soto dalam pasar lalu membeli sarung batik. Berfotoria seolah kemlinthi atau sok turis — atau malah sangat udik, misalnya berfoto di atas trotoar depan Plaza Indonesia, Jakpus, saat itu.

Saat itu fotografi berfilm, dengan isi 36-39 jepretan, adalah kemewahan. Apalagi kalau pakai SLR – saya sih pakai kamera saku, point and shoot. Selain mewah, berfotoria juga buang waktu. Untuk melihat hasilnya harus menunggu proses cuci-cetak.

Saya berfotoria bukan karena berlebih uang tapi karena suka. Buang waktu lama saya pun lebih lama karena sebagian film negatif saya buatkan contact print dulu, tak bisa sejam selesai, lalu mencetak per bingkainya kalau ada duit.

Fotografi boleh dianggap sebagai ancaman

Setelah fotografi digital kian meluas maka makin banyak orang jeprat-jepret. Tapi tak semua kedai siap dengan itu. Awal 2000-an di sebuah kedai soto lamongan (kelak berganti jenama kuminggris, tapi menu tak berubah) di Kelapa Gading, Jakut, saya ditegur seorang pramusaji senior ketika memotreti makanan di meja saya dan dekorasi ruang – termasuk memfoto dari luar kaca jendela. “Harus ada izin dari orang kantor,” katanya, merujuk manajemen resto.

Melewati 2005, tepatnya 2007, salah satu pramusaji sebuah kedai kopi penerus merek lama, di Bellagio, Kuningan, Jaksel, akhirnya mengingatkan saya, “Maaf ya Pak, sebenarnya nggak boleh motretin sini di dalam dan dari luar.” Saya dan dia sudah akrab karena saya agak kerap ke sana.

Bagaimana dengan toko? Ini bisa jadi hukum abu-abu sih. Umumnya sih memasang tanda dilarang memotret, atau ketika kita ketahuan memfoto akan ditegur.

Lha apa bedanya kedai dan toko? Kalau kedai, mungkin, antara boleh dan tidak karena tetamu yang memotret sedang mengudap di sana – baik karena bayar sendiri maupun ditraktir. Sedangkan di toko, pengunjung yang memotreti dagangan dan desain interior belum tentu pembeli.

Ah, apapun jenis usahanya, mau resto atau toko, merupakan hak tuan rumah untuk melarang orang lain memotret. Kadang ada keragaman perlakuan sih. Sampai 2008 ketika ponsel berkamera belum merata, satpamwan mal lebih mewaspadai kamera saku dan terlebih DSLR.

Kini kamera pada ponsel dan aplikasinya makin bagus. Pengelola mal dan pemilik kedai maupun toko cenderung membiarkan pemotretan dengan ponsel apalagi kalau sasarannya teman serombongan dan diri sendiri.

Adapun kamera saku biasa, bukan nircermin (mirrorless) pula, kadang masih dianggap berbahaya oleh satpamwan maupun pramuniaga. Mungkin akhirnya pengelola mal, toko, dan resto akan meniru promotor pertunjukan musik asing: melarang kamera jenis apapun yang lensanya dapat digonta-ganti.

Masalah bagi pelaku usaha adalah media sosial, apapun jenisnya, bisa menjadi gelaran fotografis yang belum tentu menguntungkan. Mereka mengkhawatirkan penyontekan dekorasi hidangan, desain baju dagangan, dan desain interior maupun perabot.

Di luar itu ada pula soal keamanan. Pemotretan akses keluar masuk darurat, saluran AC, dan pintu ruang AHU dianggap punya maksud yang layak dicurigai. Padahal persoalan seorang narablog bisa saja tentang desain. ;)

Zamannya sadar media (sosial)

Kini tampaknya kian banyak pelaku usaha yang sadar media sosial. Bukan hanya membiarkan pengudap maupun pembeli memotreti dagangan dan pajangan ruang namun malah ada yang seolah mempersilakan.

Saya sebut “seolah mempersilakan” karena tidak eksplisit membolehkan namun secara visual sangat mengundang. Misalnya toko busana Coconut Island di Mall @ Alam Sutera, Tangsel, Banten.

Kalau foto kedai dan toko terpapar di media sosial, apalagi dengan sentimen positif, itu merupakan promosi yang murah. Tak perlu membayar orang tapi sosok usaha tersiar.

Bahkan atas nama publisitas dan keterkaitan dengan konsumen, kalau perlu kedai sengaja mengajak orang untuk berfoto dengan tema tertentu. Lebih sip pakai hadiah segala. Sama-sama untung, kan?

Meskipun begitu kalau masih ada juragan toko dan kedai yang antifoto, kita mestinya tetap menghargai. Itu hak mereka untuk melindungi propertinya.

*) Maaf, istilah “narsisis” (kata benda, pengidap narsisisme) dalam judul hanya ikuta-ikutan. Orang yang, katakanlah, cenderung senang pamer belum tentu narsisistis; mungkin hanya eksibisionistis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *