Gelar Akademis dalam Kampanye

▒ Lama baca 2 menit

antyo-koran-tempo-2014Papan pemeragaan Pemilu 2014 itu dicoblos oleh Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Umum DPP Demokrat, di Tulungagung, Jawa Timur, Selasa 18 Maret lalu. Semua nama calon legislator dalam kartu suara raksasa itu bertulisan “Prof. Dr. Ir. Calon Anggota DPR” – semuanya dalam huruf kapital. Kalau nama itu dieja jadilah “profesor doktor insinyur calon anggota de-pe-er”. Semuanya sama. Lalu jadilah tampak generik, mirip spesifikasi suku cadang. Lalu, apanya yang menarik? Ada tiga tilikan.

Pertama: orang tahu, pada awal pembentukannya, Demokrat memang lekat dengan citra akademis. Banyak doktor dan guru besar bergabung di dalamnya.

Kedua: memang jamak jika dalam kampanye pemilihan legislatif ataupun kepala daerah gelar akademis ditampilkan. Ada kesan kalau gelar lebih dari satu itu mentereng. Namun, sejauh saya lihat, beberapa materi pencitraan diri caleg ataupun calon bupati dan calon wali kota tak ada yang berfoto di perpustakaan pribadinya. Mungkin perpustakaan dianggap sebagai dunia kaum menak, jauh dari hamba sahaya.

Ketiga: di luar urusan pemilu, masyarakat kita sangat menghargai gelar akademis. Dengan demikian, undangan pernikahan pun menjadi dokumen perkawinan akademis. Dalam bahasa humor pemandu acara, “Inilah pernikahan daripada Insinyur Bambang Hartono melawan Doktoranda Sri Rahayu.” Melawan? Memangnya tinju? Lagi pula insinyur dan doktoranda itu gelar lama –  kecuali pengantinnya sudah tua.

Gelar akademis dan profesi memang penting dalam masyarakat. Siapa pun yang memiliki gelar, secara legal dan bermartabat, tentu berhak memasangnya untuk urusan apa pun. Bahwa seorang Fuad Hassan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tetap tak mencantumkan gelar ketika menandatangani Kepmen 036/U/1993 tentang Gelar dan Sebutan Lulusan Perguruan Tinggi, anggap saja dia menempatkan diri sebagai birokrat, bukan dosen.

Cara Fuad yang tanpa gelar juga dilakukan oleh Satryo Soemantri Brodjonegoro (Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, 1999-2007). Semua dokumen dinas tak memuat gelar “Prof. Dr. Ir.”. Tentulah mau pasang gelar atau tidak itu soal pilihan.

Menjadi tak elok jika mereka yang mendapatkan gelar dengan membeli pun memajangnya dengan rasa penuh wibawa. Pada gilirannya adalah bisnis. Cobalah Anda ketik “jual ijazah” dalam Google, muncullah sejumlah penyedia. Ada yang menawarkan ijazah S-1 dan S-2 seharga Rp 2-3,5 juta. Murah nian.

Menurut pontianak.tribunnews. com, Kamis, 16 Januari 2014, ijazah palsu di Kalimantan Barat juga diminati caleg. Ongkosnya Rp 15-30 juta. “Untuk jurusan, bisa sarjana hukum, fisipol, banyaklah, tinggal milih saja,” demikian Tribun mengutip perkataan seorang caleg berinisial Mar.

Dari pasar ijazah di Internet itu, sejauh saya lihat sekilas, tak ada yang menawarkan gelar berlatar keilmuan tertentu, semisal matematika, fisika, astronomi, filsafat, arkeologi, dan antropologi. Eh, tapi kalau menilik kampanye, benarkah masyarakat mencoblos seorang kandidat karena sebelumnya terkesan oleh gelarnya? Apakah gelar menjadi nilai plus selain cita-cita politik yang ditawarkan oleh kandidat?

Jika ya, berarti dakwaan bahwa masyarakat kita kagum gelar adalah benar. Yang diperlukan tinggal peningkatan kawaskitan dan kecendekiawanan dari setiap pengusung gelar. Jika tidak, berarti pencantuman gelar tak membawa manfaat. Lalu, buat apa merangkai gelar sampai berganda?

~ Antyo Rentjoko, bekas blogger (@PamanTyo), dalam Koran Tempo,  Selasa 1 April 2014

Tinggalkan Balasan