↻ Lama baca 2 menit ↬

ayam kampung di kompleks perumahan, pondokgede, jabar

MARI BELAJAR MEMAHAMI PEPATAH AYAM TANPA PERNAH MELIHAT | Ayam, ayam, ayam. Selama ini tak saya perhatikan. Mereka saya lihat tadi pagi di lapangan basket dalam kompleks, di lapangan berumput tak jauh dari sana, dan di beberapa jalan dalam perumahan. Mereka lalu lalang. Mematuki apa saja yang laik makan. Atau berkokok pelan sambil mendekam. Tapi tak ada yang berkotek seperti disyairkan sebuah lagu.

Saya tak tahu adakah keluhan dari tetangga misalkan di depan gerbang halamannya ada tahi ayam. Kalau di dalam halaman sih kecil kemungkinan karena hampir setiap rumah berpagar dan yang pagarnya ditabiri plastik. Ayam tak dapat menerobos masuk.

Ayam. Tepatnya ayam kampung. Ternyata masih ada yang memiara. Ada tempat untuk menaruh. Ada waktu untuk mengurusi. Padahal di kota besar. Apa? Kota besar?

Mungkin saya salah. Saya tinggal di sebuah kelurahan yang dulunya ikut kode pos Pondokgede 1741x —  sesuai anjuran Kantor Pos: bukan Bekasi 1741x. Memang wilayah saya bukan kota besar. Tapi disebut desa pun tidak pas.

Oh, kalau begitu saya sebut kota saja ya. Urban bukan rural. Padahal pemiaraan ayam kampung, yang bebas berkeliaran, dalam benak saya kadung terlekat suasana pedesaan dan kota kecil. Nyatanya di Pondokgede tak sedikit yang memiara ayam.

Sambil mengayun langkah karena kaki kanan saya harus dilatih makin berat dan kejam, lamunan pun hinggap. Jika tak pernah melihat ayam, bagaimana anak kota memahami pepatah seperti anak ayam kehilangan induknya?

Anak kota jarang melihat ayam selain yang ada dalam animasi dan games serta yang sudah terhidangkan sebagai lauk. Bukan salah mereka kalau tak paham. Dunia sekitar memang menjauhkan mereka dari asal muasal santapan yang agraris. Mereka tak perlu mencari krem antihistamin karena kulit gatal memerah akibat kutu ayam. Ayam adalah wakil dunia jauh. Maka wajar jika mereka sulit menebak maksud asal ayam ke lesung, asal itik ke pelimbahan.

Mereka? Anak-anak kota itu? Saya saja sulit menerka padahal tahu apa itu lesung dan pelimbahan. Bahkan kata pelimbahan saya kenal jauh hari, saat SD, sebelum mengenal kata dasarnya yaitu limbah.

Menurut Wikiquote Indonesia ada dua arti. Pertama: tabiat yang turun temurun, sukar sekali mengubahnya. Kedua: perempuan yang hina walaupun bersuamikan orang baik-baik sifat hinanya sukar sekali untuk diubahnya. Uh, suram juga artinya.

Pepatah ber-ayam tak hanya itu. Ada ini: ayam berinduk, sirih berjunjung. Ada pula ayam menang kampung tergadai. Pun ada ayam putih terbang siang. Terkalah artinya tanpa pernah melihat ayam piaraan hidup.

Hmm… saya teringat sebuah artikel di Beritagar tahun lalu, tentang gerakan keluarga modern di Amerika yang memiara ayam. Tetangga saya sih tak merujuk gaya Amrik.

*) Mendadak saya teringat teman saya yang menanamkan diri Pitik (Jawa: ayam). Dulu blognya dinamai Kukuruyuk dan ada suara petok-petok ayam. Di kemudian hari dia menikahi seorang perempuan, blogger juga, yang menamakan diri Meong. Ayam kawin dengan Kucing.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *