MASA SIH INI CUMA SOAL KETULUSAN? | Bukan pertama kali itu saya mendengar kegundahan seseorang gara-gara diminta memberikan endorsemen sebuah buku. Yang meminta adalah si penulis, untuk karya pertamanya. Ada empat alasan kegundahan.
Pertama: dia tak kenal dekat dengan si penulis, hanya kenal biasa, bahkan bersua pun baru sekali. Kedua: dia tak tertarik topiknya — katakanlah tentang seni menjerat pria ganteng pemanjat genting dengan teknik gantung sambil membawa gentong.
Ketiga: dia merasa di-fait accompli karena langsung diberi tiga contoh bab dalam PDF via email, dan dirinya hanya salah satu penerima dari sebuah kiriman serentak untuk sebelas orang. “Kayak ditunjuk di depan umum, udah gitu cuma nyebut ‘dear sahabat… Kayak emsi bilang hadirin yang di baris depan dimohon naik ke pentas’,” keluhnya.
Keempat: sudah tak tertarik topiknya, kawan saya ini tak tertarik contoh naskahnya.
“Enaknya gimana, ya?” dia bertanya.
Lho “dia” siapa, he or she? Untunglah kata ganti dalam bahasa Indonesia tak mengenal kelamin. Jadi untuk kasus ini saya pertahankan. Dia tetap dia.
Saya menanggapi, “Maksudmu gimana caranya nolak?
Dia tersenyum.
Tempo hari seorang teman lain bertanya apakah endorsemen itu harus. Saya malah bertanya, “Harus? Diharuskan siapa?”
“Nggak tahu. Pokoknya harus ada ya?”
“Nggak juga. Terserah penulis dan penerbit. Dulu waktu SMP itu buku daftar logaritma yang aku pakai nggak ada endorsemennya.”
“Kenapa nggak pake kalkulator?”
Endorsemen adalah pengukuhan. Gratis atau bayar, hanya penulis-penerbit-endorser yang tahu. Bisa saja itu karena alasan pertemanan, jauh dari urusan duit, bahkan terpikir pun tidak. Bisa juga semacam endorsemen comotan, berupa kutipan dari media, setelah bukunya dicetak kedua kalinya dan seterusnya, lalu muncul judul baru lagi.
Teman satu lagi (artinya teman ketiga), pernah mengeluh kepada saya, “Gue udah kasih endorsemen eh dia balikin, katanya kurang catchy, nggak menjual. Akhirnya gue diemin aja.”
Dari sisi penulis, dan penerbit, pengukuhan yang dibubuhkan dalam buku — kadang ditaruh si sampul belakang bahkan depan — adalah bukti pengakuan terhadap kwalitet isi. Dalam pemasaran itu perlu. Tentu banyak penulis yang debutnya tak melibatkan endorsemen.
Sebetulnya bukan hanya itu. Si endorser adalah orang terpilih — tapi bukan terpilih karena lotere. Kwalitet daripada yang mana endorser juga diakui oleh penulis dan penerbit. Reputasinya bisa diraba, diendus, dan dipegang. Pokoknya bukan orang cemen, bahkan ketika membahas lepèhan permen pun tetap keren.
Sama-sama diuntungkan — belum tentu secara perduitan sih. Klop, kan?
“Belum tentu juga,” kata teman yang saya sebut pertama tadi. “Masalahnya cuma aku merasa nggak cocok sama topiknya, nggak suka tulisannya, dan lebih penting lagi emang nggak paham. Nggak paham kok disuruh muji?”
Saya tanggapi, “Tulis aja, ‘Karena saya tak paham maka saya menganggap buku ini keren. Saya selalu menganggap keren apapun yang sulit saya cerna.’.”
“Kalo (endorsemenku) dia balikin?”
“Lha kan dia yang nolak, bukan sebaliknya.”