↻ Lama baca 2 menit ↬

tempelan promo sedot wc di pondokgede, jawa barat

EMANG KEREN? KAMPANYE PILKADA MEMBAHAS TINJA? | Begitu bersemangatnya para awak perusahaan sedot tinja. Mereka tak hanya menggunakan galah untuk menempelkan kertas berperekat basah ke tiang listrik dan telepon. Mereka juga menempelkan kertas ke sisi tiang yang menghadap rumah, bahkan bila perlu di sisi dalam pintu gerbang. Artinya tulisan hanya terbaca oleh pemilik rumah, bukan oleh pelintas jalan.

tiang listrik sebagai galeri pengusaha sedot tinja di pondokgede, jawa baratLebih dari sekali saya membahas soal stiker dari penyedia jasa sedot tinja — istilah sopannya: sedot WC.  Lalu apa masalahnya?

Mereka sebenarnya bukan bagian dari masalah. Sebagai kaum optismistis mereka justru bagian dari solusi. Bukankah orang pesimistis hanya menjadi bagian dari masalah?

Mereka, para penyedot tinja yang sejauh saya tahu tak pernah urunan untuk memasang iklan ucapan selamat kepada bupati baru dan wali-kota baru itu, sadar bahwa urusan sanitasi kota belum tentu diurus dengan baik dan benar. Semuanya diserahkan kepada warga untuk membereskan sendiri.

Caranya? Tinggal menelepon pengusaha sedot WC. Harus ada uang dong? Ehm, iyalah.

Mereka akan datang, membawa truk tangki entah punya siapa, yang pasti tanpa tulisan “tangki ini bukan alat ukur”. Truk tangkinya juga tanpa wanti-wanti — berbeda dari truk tanki pembawa BBM, gas, dan cairan kimia berbahaya.

Padahal jika mengalami kecelakaan di jalan, truk tangki tinja bisa mendatangkan masalah. Saya lupa judulnya, Yudhistira A.N. Massardi pada tahun 80-an pernah membuat cerpen tentang mobil tinja yang terguling.

Beberapa tahun kemudian saya hanya berharap bahwa aparat keamanan hanya menggunakan truk tangki air (waktu itu belum ada water canon) untuk menyemprotkan air kali ke arah kerumunan demonstran dan perusuh. Rasa-rasanya, pejuang paling militan yang tak takut panser dan gas air mata pun akan jeri jika menghadapi mobil tinja.

Maaf saya ngelantur. Stiker dan plakat sedot WC lahir dari solusi terhadap masalah. Dari sisi warga, pokoknya tangki septik tidak luber. Bahwa muatan truk tangki akan dibawa ke mana, itu urusan orang lain. Apakah kota punya kolam okidasi yang terkelola dengan baik, itu masalah Pak Wali dan Pak Bupati yang tak perlu ditagih karena dalam kampanye pilkada soal tinja tak disebut-sebut. Emang keren kalau berkampanye membahas tinja?

Untunglah cerita tentang WC tak melulu soal stiker promosi pengusaha sedot limbah jalma, tetapi juga sejumlah upaya untuk mengatasi. Misalnya anggota DPRD Tangerang yang pada 2011 mempersoalkan kolam oksidasi (entah apa hasilnya). Ada pula AKKOPSI (Aliansi Kabupaten/Kota Peduli Sanitas) yang pada 2013 sepakat menaikkan anggaran sanitasi. Selain itu ada pula STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat). Dan contoh ini menarik, dari Surabaya: laporan kepada warga tentang IPLT (Instalasi Pengolahan Limbah Tinja). Untuk perawatan berkala, pakailah serbuk bakteri pengurai tinja yang bisa dibeli di apotek. Misalnya Biotech — saya sudah mencobanya.

Kok penutup tulisan jadi aneh? Ini disponsori ya?  Atau ada titipan pesan dari siapa, gitu?

Nggak. Masa sih bikin tulisan isinya cuma menggurutu lalu marah-marah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *