↻ Lama baca 2 menit ↬

Saya suka burung tapi tak paham burung. Kebetulan saja saya kenali suara itu, di halaman sekolah putri saya di Pejaten, Jakarta Selatan, Sabtu lalu. Itu suara burung tekukur bin derkuku — tapi suara derkuku tampaknya bukan termasuk kicauan. Sir Mbilung si ahli burung lebih tahu.

burung tekukur | Spotted Turtle Dove (Streptopelia chinensis), Austins Ferry, Tasmania, Australia
Burung tekukur (Streptopelia chinensis) di Tasmania, Australia. Mungkin berbeda dari yang saya ceritakan. © J.J. Harrison / Wikimedia Commons

Saya dekati asal suara. Ada di sebuah pohon — saya juga tak tahu itu pohon apa karena saya tak paham pepohonan. Saya di bawah, si tekukur tetap bersuara di atas. Sayang dia terlindungi kerimbunan daun. Saya tak dapat melihatnya.

Memang, di sekolah itu banyak pohon dan burung. Malah menurut anak saya, dari dalam kelas dia sering melihat tupai di atas pepohonan luar. Tapi suara tekukir baru saya dengar hari itu. Setahu saya, sehingga saya khawatir, burung tekukur dipiara dalam sangkar; jarang mereka berkeliaran di alam metropolitan yang polutif ini.

Maka saya pun menanya seorang satpamwan. Dia bilang, “Romo ngelarang burung-burung di sini diketapelin. Malah saya sama teman-teman suka kasih nasi kering ke mereka. Makanya kadang mereka datengin pos jaga buat minta diempanin.” Romo yang dia maksudkan adalah pastor kepala sekolah.

Di Jalan Langsat, Jakarta Selatan,  juga banyak burung. Maklumlah di sana ada Taman Langsat yang mirip hutan kota. Dulu ketika saya sering membawa mobil, sudah rutin kalau bodinya kena tahi burung. Pertanda lingkungannya masih bagus, padahal ini di Jakarta, kata saya kepada beberapa teman.

Bagi Anda persoalannya mungkin sederhana: “Halah, biasa saja. Kalau banyak pohon ya pasti banyak burung.”

Baiklah, tapi di Jakarta ini pohon semakin berkurang. Celakanya saya tak tahu pohon apa saja yang bisa mengundang burung.

Menyenangkan kalau ada burung. Jika kita sarapan di teras ruang makan Putri Duyung Cottages, Ancol, Jakarta Utara, ada saja burung mematuk remah roti dari piring-piring di meja sebelah. Persoalan selain ketersediaan pepohonan memang kehadiran para penembak dan pengetapel burung.

Dulu, tujuh tahun lalu, ketika halaman parkir Gedung Gramedia Majalah, Kebonjeruk, Jakarta Barat, masih baru dan gersang, cuma ada beberapa pohon kersen (kalau tak salah), saya pun bisa mendengar suara burung, baik pagi maupun sore, dari ruang saya di lantai lima. Maksud saya ketika jendela sedang saya biarkan terbuka. Setiap sore saya mendengar suara burung kedasih.

Pepohonan. Burung. Penjagaan. Itu kuncinya. Buktinya di kawasan tertutup yang hijau segar banyak burungnya. Sebut saja TMII di Jakarta Timur dan pelataran The Sultan Hotel di Jakarta Pusat. Kawasan lain di Jakarta (dan sekitarnya) dapat Anda tambahkan sebagai contoh.

Bagi saya, keindahan burung adalah justru di alam, bukan dalam sangkar milik perorangan. Untuk burung yang asalnya dari jauh, apalagi badannya besar, yang di tempat asalnya hanya ada di dalam hutan, mestinya tersedia lengkap di kebun binatang dan taman burung untuk publik.

Harapan saya, Jakarta makin banyak pohon dan burung; sehingga anak saya, dan kelak cucu saya, bisa mengenali sebelas nama pohon dan sepuluh jenis burung yang ada di sekitarnya. Pun, seperti cerita anak saya yang sudah dua kali ke Bangkok, Thailand, burung dan tupai mudah ditemui di jalan yang banyak pohonnya.

Sumber foto: Wikimedia Commons

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *