↻ Lama baca 2 menit ↬

Dijamu pelapak koran di Pasar Mayestik Jaksel

Saya menatap semua majalah, terutama yang digantung di bagian tengah dan bawah kios. Hampir semuanya majalah wanita, kebanyakan didominasi majalah fesyen.

Arah mata saya bukan ke atas, lagi pula pandangan saya terhalang topi. “Hei, Bos! Apa kabar?” sapa pemilik kaki berjins tujuh per delapan yang menutupi tabloid di ujung luar kios.

Saya mengangkat kepala. Oh dia!

Ya, dia si penjual majalah dan koran yang tahun lalu mangkal di depan RS Gandaria, Kebayoran Baru, Jaksel, lalu menghilang itu. Di lapaknya dulu saya kadang membeli majalah, tapi lebih sering melihat-lihat, dan dia mengizinkan saya memotreti sampul.

Tahu-tahu kami bersua di Pasar Mayestik, sepelemparan gotri raksasa dari meriam komik. Ya, dia! Tapi saya lupa namanya.

Kami bersalaman. Saya tepuk-tepuk bahunya. Lalu saya dipersilakan duduk di bangku plastik sebelah lapak, di pelataran toko cita Le Mode itu. Akhirnya saya ingat namanya: John.

Ya, John pemuda 25 tahunan yang orang Nias itu. Dulu dia saya sangka orang Batak, karena jaringan agen media cetak di Blok M dan sekitarnya (oh, sebetulnya secara stereotipikal, bukan stastistikal, di seluruh Jakarta!) dipegang oleh orang-orang Batak.

Sempat saya coba ingat nama agen yang jadi juragannya, tapi buntu. Yang saya ingat cuma nama Aritonang, salah satu raja agen Ibu Kota, berpangkalan dekat Lapangan Banteng. Nama-nama mereka dulu ada di komputer saya, supaya saya bisa memantau angka laku dan terutama retur majalah — tapi tidak real time.

“Sudahlah di sini saja. Kita ngopi dulu, Bos. Lama nggak jumpa,” katanya.

Dia melihat mata saya yang mengarah deretan toko seberang yang disela jalan padat macet berisi mobil parkir dan antre. Di sana saudari, keponkanan, anak, istri, dan anak saya sedang mencari bahan seragam kebaya. Karena saya capek menunggui maka saya keluyuran.

“Tenang saja, kan bisa di-SMS,” katanya.

Dua kopi susu dalam gelas plastik sudah datang. Hampir pukul empat sore, saat yang pas untuk ngopi.

Dia bercerita, majalah wanita di Mayestik lebih laris daripada di Gandaria. “Di sini yang belanja kain tuh perempuan punya duit. Istri bos-bos,” katanya. Entah mana yang dia maksudkan karena dia memanggil saya, dan orang lain yang dia kenal, sebagai bos.

Lama saya tak merasakan keramahan macam ini, dari pertemuan tak terduga. Lama saya tak beredar. Lama saya tak keluyuran. Lama saya tak ngeblog.

Pada sore yang tak gerah itu — tumben saya tak berkeringat — saya teringat sejumlah orang jalanan yang hanya saya kenal wajahnya tapi mereka semua ramah. Semanak dengan gaya masing-masing.

Ketika putri bungsu saya menyusul, saya pun beranjak. Kopi tak mungkin saya bayar. John sudah membayarkannya. “Sudahlah, biar saya saja,” katanya.

Terima kasih, Bung.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *