↻ Lama baca 3 menit ↬

SKETSA NYINYIR (TAPI MENGASYIKKAN) TENTANG JAKARTA.

Ketika listrik rumah padam karena penggiliran di sebuah kawasan Jakarta, sehingga TV tak dapat ditonton, lalu untuk twitteran di ponsel pun tidak bisa karena low batt, apa yang dapat dilakukan oleh sepasang suami-istri muda  tanpa anak?

Saya tak tahu apakah mereka kegerahan sekali, karena umumnya kelas menengah Jakarta memakai AC di kamar tidurnya, padahal listrik mati (eh iya, sih mereka tak berselimut). Saya tak tahu pasti karena yang terpampang adalah kegelapan kamar, tepatnya keremangan yang sangat, yang seolah-olah dibidik dari kamera bertripod di sudut ruang yang dibiarkan merekam pembicaraan mereka.

Mati lampu beberapa jam? Ketika itu terjadi biasanya dikeluhkan orang Jakarta di Twitter, tapi menjadi keheranan tweeps di luar Jawa karena mereka mengalami yang lebih buruk tanpa menyumpah serapah.

Cerita dalam Gelap

Nyatanya kegelapan bisa menjadi saat yang cocok berkomunikasi. Biasanya saat lampu menyala, masing-masing penghuni rumah asyik dengan dunia kecilnya: gadgets, bacaan, tontonan TV.

Ketika lampu padam, kamar kembali menjadi dunia kecil untuk dua orang – tapi penonton tak melihat wajah mereka. Di sana mereka bercakap-cakap, saling ledek, dan akhirnya saling menelanjangi perselingkuhan masing-masing tanpa ledakan amarah karena sudah tahu sama tahu.

Gelap adalah panggung yang tepat untuk suara. Dalam Gelap, sebagai bagian dari omnibus Jakarta Hati(Salman Aristo, 2012), menyodorkan sketsa kehidupan urban dengan pas. Denting cincin perkawinan yang jatuh ke lantai (karena suami sengaja menjatuhkannya?) di tengah percakapan sungguh mencubit penonton. Kemudian istri bertanya apakah suaminya juga melepaskan cincin saat mengencani pacarnya, dan jawabannya adalah pertanyaan balik dari suami: “Kamu juga ngelepas cincin?” (bukan kutipan persis).

Gelap adalah sekresi dan (akhirnya mungkin) rekonsiliasi, tanpa saling tatap mata sepasang manusia. Celakanya saya tak tahu pasti, ketika pembicaraan sampai ke soal api gairah yang padam, lalu disusul bunyi isyarat ponsel akan mematikan diri, itu berasal dari film atau penonton depan saya. Namun dari manapun sumbernya, suara ponsel mematikan diri itu tepat sekali.

Sketsa Jakarta

Saya belum pernah menonton film Salman Aristo sebelumnya, terutama Jakarta Maghrib, sehingga belum bisa mengenali cara dia menuturkan kota dan manusianya.

Tapi bagi saya, dengan segala keawaman saya tentang sinema, enam cerpen dalam film ini bisa membuat kita becermin. Inilah Jakarta, ibu kota dengan aneka masalah.  Masing-masing orang bisa apatetis untuk beberapa hal (dalam Masih Ada, seorang politikus tak tahu bahwa pintu penghubung kompleksnya dengan kampung sebelah sudah lama digerendel), berkompromi untuk hal tertentu karena kehidupan harus dijalani (apalagi kalau bukan kemacetan), dan sekaligus nyinyir mengeluh tanpa mencoba terlibat dalam proses perubahan (dalam Dalam Gelap muncul lontaran #kelasmenengahngehek selain nama – kalau saya tak salah dengar – Ben Anderson dan Peter L. Berger).

Maaf, kalimat saya tadi panjang banget.

Apakah Salman juga nyinyir dalam omnibus ini? Bagi saya itu tak terhindarkan karena “film cerita pendek” ini memang memberi ruang singkat untuk “kekayaan tuturan visual”. (Lho kok pakai tanda kutip? Sabar, atau lompatlah ke setelah dua pararagraf setelah bagian ini)

Maka wajar saja jika saling tukas Surya Saputra (sebagai suami yang istrinya berselingkuh) dan Asmirandah (sebagai cewek yang ditinggal cowoknya main dengan istri Surya), ketika menceritakan keburukan pasangan masing-masing dalam canda getir, menjadi semacam dialog singkat operatik. Mereka  seperti terus berbicara saling menimpali selayaknya berduet. Itu yang terjadi dalam Orang Lain.

Ah, bukankah Jakarta juga kota yang nyinyir? Bilbor dan spanduk berteriak di mana-mana. Jalan raya memuntahkan aneka suara: dari seruan kernet, tawaran pengasong, ratapan pengemis, derum mesin kendaraan, jeritan klakson, sampai kebisingan personal yang dinikmati sendiri melalui earphones penumpang angkutan umum. Masing-masing sibuk menghasilkan suara, dan seringkali tak saling menghiraukan.

Tentang tuturan visual sebenarnya kaya, tapi karena merekam hal yang diakrabi penduduk Jakarta, dan sering menjadi tayangan di TV maupun jepretan jurnalis foto (dan narablog pra-Instagram), maka kita merasakannya sebagai kewajaran – kecuali dalam Orang Lain yang lebih “filmis”, sajian visualnya diakrabi penggemar klip musik. :D Bahkan nada warna dalam film pun dirancang wajar selayaknya dokumenter, misalnya suasana pasar dalam Darling Fatimah.

Dari serangkaian sketsa itu, kita memang mendapatkan kepingan cermin – tapi saya tak tahu bagaimana film ini akan dicerna penonton di kota kecamatan yang jauh dari Jakarta.

Bagi saya, sketsa ini pas: ringan, gampang dicerna, dan menghibur. Jakarta yang padat bisa mengasingkan orang.

Kenapa saya suka film ini? Mungkin karena sebagian isi blog-blog saya adalah sketsa kehidupan kota. :)  Tentu saya juga menyukai sudut bidik untuk gambar hidup maupun imaji diam Surya Saputra di balik jendela kedai Never Been Better, Kemang: wajahnya terbelah sambungan kaca. Jiwa terbelah yang tampak dari luar.

Oh ya, pada awal arah Orang Lain saya langsung teringat Random Hearts (Sydney Pollack, 1999). Kalau seorang pria (Harrison Ford, yang ditinggal menyeleweng istrinya) bersekutu dengan seorang wanita (Kristin Scott Thomas, yang suaminya berselingkuh dengan istri Ford), apakah yang (diharapkan penonton) akan terjadi? :D

Judul: Jakarta Hati (omnibus berisi Orang Lain, Masih Ada, Kabar Baik, Hadiah, Dalam Gelap, dan Darling Fatimah) • Tahun: 2012 • Sutradara: Salman Aristo • Penulis: Salman Aristo • Produser: L.M. Samtani & M.K. Samtani • Aktor: Slamet Rahardjo, Roy Marten, Didi Petet, Surya Saputra, Asmirandah, Jajang C. Noer, Shahnaz Haque, dll.

© Ilustrasi: Jakarta Hati / 13 Entertainment
• Untuk data film Indonesia silakan buka Filmindonesia.or.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *