↻ Lama baca 2 menit ↬

MAKLUMAT TELAH DIPASANG. PENEGAK HUKUM SILAKAN TIDUR NYENYAK.

image

Kaget saya mendapati spanduk di beberapa mulut gang di Bidaracina, Jatinegara, Jakarta Timur. Selain mengingatkan warga agar memasang pengaman tambahan pada sepeda motor dan mobilnya, spanduk itu juga mengancamkan hukuman mati bagi pencuri yang tertangkap.

Tiba-tiba saya teringat masa gelap pada awal reformasi. Hukum tak diindahkan, aparat negara tak punya wibawa. Di beberapa tempat maling ditangkap dan dibunuh setelah disiksa. Copet pun begitu, sehingga ada copet yang mengaku kepada sebuah koran lebih baik memfitnah orang lain daripada mati konyol. Dan di Pondokgede, dua orang pencuri motor dibakar hidup-hidup di tengah lapangan. Di antara kerumunan penyaksi adalah ayah salah satu korban. Dia tak berani berbuat apa-apa. Kompas mewawancarai ayah yang terkena nestapa itu.

Maka saya pun teringat peristiwa mengerikan pada awal reformasi itu. Suatu petang, anak sulung saya, yang saat itu masih enam tahun, panik saat menonton televisi, “Bapak, Bapak, itu apa? Ngeri banget!” Saya menengok ke layar TV yang sedang menayangkan berita pada waktu prima yang dapat ditonton segala usia.

Siaran berita sebuah stasiun, saya lupa TV apa, itu menayangkan video tersangka maling penuh luka diseret dan digebuki warga entah di mana. Yang segera saya lakukan adalah menyambar remote controller dan mengganti saluran. Saya terguncang mendapati jurnalisme macam itu.

Masa gelap, saat sekelompok orang boleh menjadi hakim sekaligus eksekutor di mana-mana, itu sempat membuat istri saya was-was. Pergi dekat malam hari naik motor pun saya dilarang. Dia khawatir skuter saya yang sering rewel karburatornya itu macet, lalu ketika saya dorong menepi ada orang meneriaki saya sebagai maling.

Tentang spanduk itu. Saya paham, kehilangan barang berharga yang dibeli dengan berkorban banyak itu menyakitkan. Tetapi haruskah pelakunya, tepatnya orang yang secara hukum pun masih disebut tersangka, dibunuh?

Saya juga paham, makin banyak maling nekat yang berubah menjadi perampok ketika kepergok. Maling macam itu akan mengancam duluan bahkan bertindak duluan. Mungkin si maling berprinsip, daripada dibunuh lebih baik membunuh. Kasus terakhir Bandung, ketika tersangka maling menembak mati pemilik laptop yang mengejarnya, adalah contoh mengerikan.

Secara kasuistis saya paham jika maling yang menyerang pemergok juga layak dilawan dan dilumpuhkan — dengan catatan kalau si pemergok berani. Maling macam itu sungguh keterlaluan, sudah tahu bersalah malah menyerang. Mestinya mohon ampun — tapi mana ada maling mohon ampun dalam posisi menang? Secara kasuistis, dan asumtif, bisa saja yang dilakukan si terserang (dalam hal ini si pemergok) hanyalah membela diri dengan hasil eksesif nyawa maling melayang. Membunuh bukan tujuan. Bukan niat. Hanya keterpaksaan yang tak terhindarkan. Sialnya, maling tepergok yang terpojok pun berpikir dan merasa berhak bertindak sama.

Kembali ke spanduk tadi. Di manakah masalahnya? Banyak. Dari sisi maling, setiap peluang harus dimanfaatkan. Faktor sosial ekonomi bisa menjadi pembenar. Orang terhormat berpendidikan tinggi dan saleh saja boleh mencuri melalui korupsi, masa sih orang lain tidak boleh? Khusus untuk pemetik (pencuri) mobil, sejak awal para pelakunya tahu bahwa lingkaran di kalangan asbak (penadah) biasanya berkait dengan penegak hukum. Mereka juga tahu, sekali mobil hilang (apalagi mobil yang resale value-nya tinggi) maka urusan pencarian tidak gampang.

Dari sisi warga? Mereka tahu, perlindungan dan penegakan hukum itu lembek. Dengan atau tanpa kultur kekerasan, bertindak sendiri adalah sebuah shorcut yang praktis karena bisa berlindung di balik pembenar amuk massa: seolah spontan, tanpa komando, dan yang lebih penting tak perlu ada individu yang harus bertanggung jawab.

Peran hamba hukum di mana? Ada dalam aneka buku. Bukan dalam kehidupan nyata.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *