MENCOBA MEMAHAMI DAWAM RAHARDJO.
Beruntung saya bisa mendapatkan buku terbitan 2007 ini. Toko yang menjualnya hanya memiliki satu eksemplar, kondisinya pun tidak kinyis-kinyis. Inilah Anjing yang Masuk Surga, kumpulan 16 cerita pendek Dawam Rahardjo, salah satu cendekiawan muslim, yang 20 April ini genap 70 tahun.
Tanpa pengantar panjang dari penulisnya pun kita sudah bisa meraba bahwa kumpulan cerpen ini merupakan ruap dari pandangan Dawam terhadap aneka masalah.
Atau bisa juga disebut begini: kumpulan fiksi (yang sebagian terilhami oleh kisah nyata) ini adalah catatan Dawam tentang keyakinan dia terhadap kebebasan berpikir, dan… keberagaman sosial Indonesia — termasuk keberagaman dalam kehidupan beragama.
Salah satu cerpennya yang menjadi judul buku, yakni Anjing yang Masuk Surga, seperti koreksi terhadap pandangan sebagian muslim tentang anjing. Bertolak dari kisah nyata anjing milik Usamah, seorang wartawan keturunan Arab Pekalongan yang beristrikan perempuan Arab Solo, muncullah benturan nilai.
Termaktub dalam kisah, bahwa Buya Hamka pun ternyata memelihara anjing. “Di Mekkah, banyak penduduk yang memelihara anjing,” demikian Buya dikutip (hal. 39)
Kebebasan dan Benturan Nilai
Kata-kata saya “mencoba mamahami Dawam” hanyalah sok-sokan. Saya tak mengikuti semua tulisan Dawam yang terserak di pelbagai tempat. Sejauh yang saya tangkap, Dawam adalah penulis kritis. Di majalah Prisma pada era Orde Baru dia bisa dengan lugas dan jernih membedah politik Indonesia (dengan pelaku utama militer, Golkar, dan kekuatan politik Islam) tetapi tak kena sensor pers.
Dawam sosok yang menarik. Dia seorang pemikir dan penggiat ekonomi islami, yang berlatar belakang Muhammadiyah, dan pernah diusulkan untuk dipecat dari organisasi itu. Mungkin karena dia membela hak-hak penganut Ahmadiyah dan pengikut Salamullah Eden. Lebih “aneh” lagi, Dawam pernah menjadi Ketua Dewan Penasihat Partai Kemerdekaan Rakyat pimpinan Pendeta Sheppard Supit dari Gereja Rakyat Indonesia. Dalam pengantar, Dawam mengakui tulisannya selain cerpen akhirnya kerap ditolak oleh Republika, koran yang dia ikut mendirikan (hal. xiv).
Dengan latar itu kita bisa memahami canda Dawam tentang Pastor Dhakidae (tanpa Daniel) dalam Si Gila dari Dusun nCuni, yang tentu saja merujuk sahabatnya sesama pengurus LP3ES/Prisma. Cerita tentang Patek, orang yang dikatakan gila itu, menyangkut dua lembaga yaitu masjid dan gereja. Di dua tempat itu dia memulung botol plastik, dan dia kadang ikut misa tanpa merasa telah meninggalkan keislamannya.
Benturan nilai, terutama yang diskusif, sebagai bagian dari kebebasan berpikir, memang menjadi hal yang melekat dalam diri Dawam. Maka ditulisnyalah Atheis yang berlatar tiga bersaudara dari keluarga santri, padahal idenya dari kehidupan kakak beradik sahabat Dawam — si kakak adalah sosiolog yang ateis, dan si adik adalah pastor. Perjuangan untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaanlah — dan bukan iman — yang mempersatukan mereka.
Rasa Jadul
Cara bertutur Dawam cenderung datar dan mengalir. Seperti orang bercerita dalam email. Jarang ada kejutan besar, lebih sering kejutan kecil. Tetapi konflik dalam sebagian cerita bisa dia laporkan secara enak.
Saya tak tahu sejak kapan Dawam menulis fiksi, tapi jika melihat Aime-vouz Bramhs dan Impian sebuah Senja serasa membaca cerpen tahun 70-an. Pada Impian… baik latar kisah maupun percakapan dan cara bertuturnya memberi kesan suasana Jawa Tengah awal 70-an bahkan mungkin akhir 60-an. Masih ada panggilan “Yu” (bukan “Mbak”) dari seorang gadis kepada kakak perempuannya padahal mereka dari kelas menengah. Apakah kedua cerpen itu merupakan stok lama?
Ada satu hal yang menarik. Salah satu unsur deskriptif Dawam dalam melukiskan pencapaian seseorang adalah kesarjanaan. :)
JUDUL: Anjing yang Masuk Surga • PENULIS: Dawam Rahardjo • DESAIN & ILUSTRASI SAMPUL: Antorio Bargasdito • PENERBIT: Jalasutra, Yogyakarta: September, 2007 • TEBAL: xx + 192 halaman • HARGA: Rp 30.000 • ISBN 979-3684-82-8
© Foto Dawam Rahardjo: Tempo