↻ Lama baca 2 menit ↬

ASMARA, KECEMBURUAN, PERSETERUAN BISNIS, DAN PENEBUSAN DOSA.

Di tengah perseteruan kaum protembakau dan antitembakau, yang juga sampai ke media sosial, muncullah Gadis Kretek. Itulah novel karya Ratih Kumala yang diluncurkan awal tahun ini.

Membaca novel ini pembaca akan disinggungkan dengan romantisisme industri kretek: sesuatu yang mengindonesia karena unsur cengkeh dan saus, beserta merek-merek yang eksotis bahkan ajaib. Di luar urusan komunikasi pemasaran, peramuan tembakau-cengkeh-saus menjadi sigaret adalah sebuah seni rahasia. Tak semua orang bisa, yang bisa pun belum tentu sukses.

Dan kita tahu, sejak zaman pengumuman 100 pembayar pajak terbesar sampai daftar orang Indonesia terkaya versi Forbes, ada saja juragan kretek yang tercantum. Ya, kretek adalah bagian dari keajaiban ekonomi — beberapa senior kolektor lukisan di kawasan Kedu adalah juragan tembakau. Bisa ditebak kalau di balik gunungan rezeki ada banyak cerita, termasuk persaingan bahkan perseteruan — dan ehm… pengkhianatan dalam persekutuan.

Ratih menjumput cerita itu, lengkap dengan adegan Gunung Kawi (dari sana sebagian merek bisnis lama berasal) dan PKI (ini memang era yang tak ada habisnya untuk disinggung oleh banyak penulis — mungkin karena tidak jelas sekaligus banyak dimensi kemanusiaan).

Soal asmara tentu ada, dan itu pula pangkal awal masalah dari dua calon juragan kretek pada zaman kolonial sampai Jepang masuk. Yaitu Idroes Moeria yang kelak melahirkan klobot cap Djojobojo (akhirnya Kretek Gadis), dan Soedjagad yang menelurkan sigaret Djagad (kemudian menjadi Djagad Raja; dikembangkan Soeraja, menantunya), karena mereka memperebutkan hati seorang putri mantri tulis di Kota M.

Kota M? Mudah ditebak ini Muntilan, antara Magelang dan Yogyakarta. Kota kawedanan itu menjadi pusat pusaran konflik dua juragan yang akhirnya tetap berlanjut ketika Djagad hijrah ke kota kretek Kudus.

Pilihan setting Muntilan ini menarik karena di sana memang pernah ada industri rokok, dan salah satu yang bertahan sampai sekarang adalah klembak menyan Djolali warisan Pak Bustami. Masih di wilayah Dulangmas, ada rokok Djeruk di Magelang dan Sintren di Gombong. Di Yogyakarta, sampai akhir 70-an, masih ada beberapa sigaret kretek tangan produksi rumahan.

Maka dari cinta, kegigihan berbinis, sampai kecemburuan dan kecurangan, semuanya dikemas oleh Ratih menjadi cerita yang mengasyikkan. Dia tak bertutur secara linier melainkan maju-mundur dengan kilas balik, dan yang menjadi magnet persoalan adalah seorang perempuan bernama Jeng Yah.

Juga menarik, versi masing-masing pihak yang bertikai dikedepankan. Masing-masing pihak itu termasuk keturunan Idroes dan Soedjagad. Ujung cerita mengarah kepada ranah etika dan moral: apakah kecurangan patriarch (yang berbuah sukses) juga menjadi tanggung jawab ahli waris?

Selebihnya silakan baca sendiri. Yang pasti ilustrasi sampul dan isi buku ini menarik, terasa sentuhan vintage. Acung jempol untuk Iksaka Banoe.

Memang ada saja ketidaktepatan kecil misalnya tipografi kemasan rokok. Font pada rokok Proklamasi, misalnya, setahu saya belum ada pada masa awal kemerdekaan. Begitu pula teks “isi 10 batang” dan “PR. Idroes Moeria” pada Kretek Gadis; font sejenis Tekton itu dulu belum ada.

Sekadar catatan, sebagian tipografi kemasan lama adalah hasil kerajinan tangan, dengan menggambar, karena aksara pada mesin letterpress tidak bisa diajak berakrobat; lebih mungkin itu dilakukan dengan klise timah. Perancang bungkus rokok dan kertas sigaret semacam Opa Goei Hwat Sing (maaf kalau salah eja) di Kudus bisa bercerita.

Ada juga hal kecil dalam tulisan yang membuat saya heran. Apakah pada zaman Jepang sudah ada ballpoint (hal. 64)? Vulpen/pulpen (fountain pen) dan pena celup untuk tinta bak lebih masuk akal. Begitu pula dengan pensil untuk menuliskan merek; potlot tinta lebih kuat.

Adapun sebagai istilah, yaitu “plastik” pembalut bungkus rokok (hal. 113), saya menduga pada awal kemerdekan orang lebih akrab dengan “kertas kaca”. Untuk api penyulut rokok, rasanya akan lebih meresap kalau dijelaskan kapan saja korek batang dan geretan (bersumbu?) dipakai — saya yakin upet (yang mengilhami merek Ooepet) masih berjaya di kalangan nonjuragan.

Meskipun begitu, kekurangan kecil itu tak mengganggu cerita. :)

JUDUL: Gadis Kretek • PENULIS: Ratih Kumala • DESAIN & ILUSTRASI: Iksaka Banu • PENERBIT: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: Maret, 2012 • TEBAL: 275 halaman • HARGA: Rp 58.000 • ISBN 978-979-22-8141-5

© Foto Ratih Kumala: Blog ratihkumala.com

2 thoughts on “Kisah Dua Keluarga Kretek

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *