Tentang Mayat Nenek Menteng

▒ Lama baca 2 menit

MANULA YANG TAK TERTEMANI, KETIKA MENJADI JENAZAH DI RUMAH SENDIRI PUN TAK ADA YANG SEGERA MENANGANI…

Berita mayat 17 hari yang membusuk itu masih mengganggu saya, padahal saya tak mengikuti secara cermat terus-menerus. Ada banyak versi, termasuk usia dan pekerjaan mereka dulu. Faktanya, sejauh saya tangkap, Elizabeth Ko (76? dokter?) selama dua pekan lebih hidup bersama mayat Theresia Ko (74? eks-sekretaris perusahaan farmasi?), adiknya. Dua manula hidup sendiri dalam sebuah rumah tua (atau paviliun?) di Jalan Surabaya, Menteng, Jakarta Pusat.

Terkabarkan, Elizabeth terpaksa mendiamkan mayat adiknya karena dia tidak bisa apa-apa, termasuk menelepon orang luar. Dia sakit-sakitan.

Lalu banyak komentar tentang krisis kepedulian pertetanggaan di kota metropolitan. Tetapi faktanya, mayat itu terungkap karena tetangga yang mencium bau busuk bangkai.

Cerita pelengkap mengenai posisi rumah yang tersembunyi di balik keramaian jejeran kios barang antik Jalan Surabaya juga menjadi bahan pemaklum. Orang sekitar tahu ada dua nenek di dalam, begitu pula kebiasaan belanja salah satu mereka, tetapi nyatanya bau mayat tak segera menyebar.

Manula yang tak tertemani memang bisa sangat terasingkan. Penyebab utama karena kondisi fisik mereka semakin membatasi gerak bahkan untuk menggunakan telepon pun terkendala.

Siapa yang mestinya mengurusi mereka misalnya tak ada keluarga? Dalam kasus kedua nenek, mereka tak memiliki keluarga dalam arti anak kandung karena mereka tak menikah. Jadi, siapa yang sebaiknya mengurusi? Rumah jompo?

Rumah jompo, panti wredha, atau apapun namanya, menurut kesan saya bukan sesuatu yang dapat diterima luas oleh setiap orang. Baik itu si manula maupun keluarganya.

Atau badan layanan sosial milik gereja, kelompok pengajian, dan sebangsanya? Pengurus lingkungan di kawasan rumah Elizabeth dan Theresia berencana menyerahkan persoalan ke gereja Katolik.

Tetapi di luar itu tak adakah mekanisme layanan yang disediakan negara sehingga manula yang tak tertemani lebih mudah terpantau dengan dukungan teknologi? Misalkan peristiwanya sudah terjadi — yaitu kematian tanpa saksi — maka responnya tetap cepat.

Soal yang ini memang rumit karena kita terlalu banyak masalah, sehingga di luar urusan tunjangan kesejahteraan masih ada soal keamanan lingkungan.

Masalahnya adalah masing-masing dari kita memiliki manula. Bisa orangtua, bisa kakek dan nenek, bahkan segaris generasi di atasnya, sementara keseharian kita juga penuh urusan, terutama mencari nafkah.

Saya tak tahu solusinya. Tapi saya yakin sebagian dari kita mengalami hal tak menyenangkan ketika orangtua atau kakek dan nenek kita terjatuh dan harus bangun sendiri, dengan tertatih dan lama, karena tak ada yang menolong.

Tentang kematian manula, saya ingat sebuah peristiwa, tapi kasusnya tak semenyedihkan Oma di Menteng. Pada sebuah rumah di sebuah kota kecil di Jawa Tengah hiduplah empat orang, satu kakek dan tiga nenek.

Sang kakek sakit-sakitan, menjalani hidup pasca-stroke dan aneka komplikasi. Nenek pertama adalah istrinya, yang relatif sehat dan kuat. Nenek kedua, pensiunan perawat, tak menikah, adalah mbakyu dari nenek pertama tadi. Sedangkan nenek ketiga, atau nenek buyut, adalah ibu dari kedua nenek tadi.

Suatu hari, sekitar 17 tahun silam, nenek sepuh meninggal dalam usia hampir 100 karena uzur. Tanpa penyakit serius karena memang tak memiliki penyakit dalam. Maka yang segera dilakukan kedua putrinya adalah segera mengurusi jenazah, termasuk memandikannya. Setelah itu baru menelepon ketua RT. Sebelumnya tentu mengabari anak dan menantunya yang sekota, selain mengabari sanak saudara dan gereja.

Tentu Pak RT kaget dan bingung, kenapa baru lapor setelah beres. Jawaban nenek yang adalah putri bungsu dari almarhumah, kurang lebih, “Mohon maaf. Ini kesempatan terakhir saya untuk berbakti kepada Ibu. Jadi biarlah kami sendiri yang memandikannya. Selama ini saya memandikan jenazah orang lain.”

Si ibu itu memang punya tugas sosial mengurusi jenazah. Anak-anaknya sampai hapal kalau ada tamu memencet bel rumah dengan tergopoh dan berkomunikasi dalam suasana tak nyaman berarti meminta bantuan karena ada seseorang barusan meninggal.

Perempuan itu ibu saya, usianya sekarang 79, berulang tahun 15 Maret lalu. Sekarang tinggal di Yogyakarta, kota kelahirannya, dan punya akun di Facebook. :)

Tetapi tak semua manula beruntung tertemani oleh keluarga atau perawat, bukan? Termasuk kedua oma di Menteng itu.

© Foto: Eko Prasetya/Merdeka.com, tanpa izin

UPDATE  31/03/2012: Pada hari saya tulis posting ini, ternyata di rumah sejauh tiga RT dari tempat tinggal saya ada seorang kakek ditemukan sudah empat hari meninggal. Dia hidup sendirian. ;(

Tinggalkan Balasan