TENTANG PERKAWINAN DAN KELUARGA DALAM VERSI POPPY.
Sejak 1978, sebelum menjadi menteri muda sekretaris negara dan kemudian menteri sekretaris negara (1983-1988, 1988-1998), Moerdiono menempati sebuah paviliun di area Kantor Menkopolkam, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Tanpa keluarga, karena Pak Moer, demikian dia dipanggil, berpisah ranjang dari Maryati, istrinya.
Di rumah itu tak ada dapur. Untuk makanan, sopir Moer yang bernama Soewardji membelikannya di luar (termasuk saat Lebaran dan itu merepotkan). Untuk tidur, Moer cukup membaringkan diri di atas sebuah ranjang tunggal. Lantas bagaimana dia menjalani kehidupan asmara dengan pengusaha cantik Poppy Dharsono sejak 1989, saat dirinya berusia 55 dan Poppy masih 38?
Buku yang ditulis oleh jurnalis Derek Manangka ini menjawabnya dari sisi Poppy Dharsono. Isinya adalah jalinan asmara sepasang manusia, lengkap dengan segala gangguan, hingga Moer meninggal di Singapura pada 7 Oktober 2011 dalam usia 77 tahun. Ketika Moer harus menyepi karena menyiapkan pidato presiden, Poppy biasanya menemani. Tentang Moer, sebelum mereka berpacaran, Poppy mendapatkan rekomendasi dari Guntur Soekarnoputra.
Derek mengakui, buku ini kurang berimbang karena tak mewawancarai anak-anak Moer. “Jadi kalau dibilang buku ini subyektif, tidak salah. Tapi setidaknya subyektif yang lebih bertanggung jawab. Subyektif tidak untuk mencari sensasi, subyektif yang bermartabat.” (Bab Penutup, hal. 333)
Banyak hal yang terungkap dalam Pak Moer – Poppy: The Untold Story, buku tebal yang seperempatnya berisi album foto, dan paparan isinya mirip kumpulan cerita terpenggal-penggal itu. Misalnya Moer memanggil Poppy yang 17 tahun lebih muda “Non”, sedangkan Poppy memanggil Moer dengan istilah Inggris lama “Sire“. Mereka menikah siri pada 14 Oktober 1998, saat Moer berusia 64 dan Poppy janda berusia 47. (Catatan: pernikahan itu diulangi lagi di Singapura, disaksikan seorang ustaz, dalam rumah sakit, Agustus 2011)
Ketika melakukan pendekatan, Moer rela menjadi sopir Poppy dari Jakarta ke Bandung (via Puncak, belum ada jalan tol Cipularang), untuk menghadiri resepsi pernikahan anak Letjen Himawan Soetanto. Selama Poppy berpesta dalam gedung, Moer menunggu dalam Mercedes Benz, berbaur dengan para sopir. Kegemaran menyetir sendiri ini terus berlangsung hingga mereka menikah.
Yang ditunggu pembaca, misalnya status anak penyanyi dangdut Machicha Mochtar dan gugatan sang ibu, juga dibahas. Dalam buku dikatakan bahwa Poppy kecewa namun kemudian mendampingi Moer untuk melawan, antara lain dengan membentuk tim kecil. Tim itu beranggotakan adik Moer (BS), seorang jurnalis (LJL), dan menantu Moer (RPM).
Dalam perjalanan kasus, tim itu kemudian membelot, memihak Machicha. Menurut Poppy, itu karena adik Moer ingin bayaran lebih. (Catatan: ketika MK mengabulkan uji materi Machicha tentang hak perdata anak di luar nikah, Februari 2012, naskah buku ini sudah selesai)
Juga dibahas alasan Moer menggugat cerai Maryati tahun lalu, yang dinyatakan kepada anak-anaknya, “Saya menceraikan ibu kamu, karena saya ingin mengesahkan perceraian saya dan saya tidak ingin melakukan poligami…” (hal. 37)
Begitulah, buku dengan penonjolan peran Poppy dan puja-puji untuk Moer — dengan pengulangan pada banyak bab — ini menjadi semacam pembelaan diri Poppy. Kalaupun bukan pembelaan ya klarifikasi terhadap kesalahpahaman, termasuk yang disebarkan oleh infotainment.
Dari sisi Poppy, salah satu titik utama cerita adalah bagaimana dia selama 17 bulan harus merawat Moer yang sakit-sakitan (terutama kanker), baik di Bambu Apus, Jakarta Timur, maupun di apartemennya di Singapura, bahkan harus merawat luka bernanah di punggung Moer saat herpesnya kambuh. Poppy pula yang membersihkan kotoran Moer di toilet umum sambil menunggu pertolongan pertama — tak jelas di Jakarta atau Singapura (hal. 332). Saat merawat Moer, Poppy merasa dizalimi oleh opini publik.
Demi Moer pula Poppy sampai dua kali menyewa pesawat untuk membawa Sire ke Singapura. Maka dalam buku ini tercitrakan bahwa Poppy, ibu dari Fauzi Ichsan (ekonom di Standard Chartered Bank Indonesia), hasil perkawinan dininya dengan fotografer Firman Ichsan, telah berkorban banyak. Secara tak langsung terarahkan kesimpulan bahwa Poppylah yang keluar uang lebih banyak. Moer, yang tak punya rumah pribadi, hanya hidup dari bunga deposito, karena gaji dan uang pensiunnya untuk keluarga.
Soal keuangan ini membuat Moer marah dan hubungan dengan anak-anaknya memburuk karena Poppy dituding mengincar harta. Poppy mengutip Moer, “Berarti mereka menuduh saya koruptor. Berarti mereka bangga karena ayah mereka koruptor. Itu sebabnya mereka ingin kebagian uang hasil korupsi…” (hal. 305)
Lagi-lagi dari sisi Poppy, semua kesulitan dia terima sebagai kenyataan yang harus ditabahi, bahkan sejak awal hubungan. Misalnya jangan sampai kelihatan berjalan berdua. Bahkan ketika menghadiri sebuah acara pun mereka harus memberi kesan datang sendiri-sendiri. Maklumlah saat Moer masih menjabat menteri, padahal Presiden dan terutama istrinya, Tien, tak menyukai perceraian dan poligami. Moer pulalah yang merumuskan konsep untuk menjadi draft PP 10 bagi pejabat publik.
Mungkin itulah episode meniti buih. Soeharto tahu tapi menenggang. Dalam penitian buih itu, Poppy juga harus mengukur perasaan anak-anak Moer. Sebagai pendiri dan ketua Asosiasi Perancang dan Pengusaha Mode Indonesia, Poppy mencoba “memberi perhatian khusus” kepada Ninuk, putri Moer yang jurnalis, yang kemudian menjadi editor mode dan sekian tahun menangani edisi Minggu sebuah koran besar (hal. 301).
Menurut Poppy, respon dari si putri tak menampakkan penolakan maupun penerimaan, sehingga Poppy mengira hubungan dengan Moer tak dianggap sebagai masalah — suatu hal yang di belakang hari ternyata sebaliknya.
Buku ini seperti bahan drama. Mungkin bisa dikemas menjadi serial TV. Sebagai serangkaian episode mengharu biru buku ini menarik karena menyangkut dua tokoh: seorang Moer yang bekas petinggi berkuasa dan 27 tahun menjadi penulis pidato presiden (menurut eks-Menkopolkam Sudomo, kalau seorang menteri ingin mendapatkan akses cepat ke Soeharto harus melalui Moer), dan seorang Poppy yang pesohor, bagian dari dunia fashion Indonesia, yang kemudian menjadi senator dari Jawa Tengah dalam DPD-RI 2009-2014.
Tentang karier politik Poppy, ada hal yang menarik. Pada 2007 Moer melarang istrinya mencalonkan diri sebagai gubernur Jawa Tengah. Larangan itu membuat Poppy ngambek, dan sempat terpikir untuk berpisah, lalu dia kembali ke rumahnya di Pondok Indah. Demi Gadis, putri angkat mereka, akhirnya Poppy kembali ke Rumah Bahagia di Bambu Apus.
Lantas apa manfaat buku ini bagi pembaca? Menambah pengetahuan umum dan bahan obrolan. Dari sisi lain mungkin juga cerita dan citra tentang ketulusan cinta dan bektining garwa seorang perempuan ayu dan pengusaha kaya yang sebetulnya memiliki banyak pilihan dalam hidupnya.
JUDUL: Pak Moer – Poppy: The Untold Story • PENULIS: Derek Manangka • PENERBIT: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2012 • TEBAL: 474 + viii halaman • HARGA: Rp 150.000 • ISBN 978-979-22-7926-9