↻ Lama baca 4 menit ↬

MENYAMBUT DARIPADA HARI BLOGGER NASIONAL 2011.

hari-blogger-nasional-2011 | © antyo.rentjoko.netJudul itu pertanyaan untuk saya pekan lalu. Jawaban saya kurang bermutu, “Baik-baik saja.” Si penanya malah punya bahan tambahan, “Beneran, baik-baik saja?”

Saya tidak bisa menjawab karena tak memikirkan kata “baik-baik saja” selain asal sebut.

Lalu dia, seorang ibu karena sering dipanggil “Bu”, padahal belum menikah dan belum punya anak, terlebih lagi belum tua, itu bertanya soal data. Berapa jumlah bloggers Indonesia, bagaimana pertumbuhannya, dan masih banyak lagi yang menyangkut angka, lalu seperti biasa saya pun gelagapan, kemudian mempersilakannya menanya orang yang paham dan peduli statistik. Urusan saya hanya ngeblog.

“Jadi, Mas tahunya cuma ngeblog?”

Saya mengangguk. Sempat terpancar kuciwa dan tak percaya dari balik kacamata berbingkai hitam itu.

Lalu obrolan ngalor-ngidul berlangsung tanpa dukungan data. Tepatnya: saya hanya menceritakan kesan.

Masihkah ngeblog menggairahkan? Masih — bagi sebagian orang. Mereka ngeblog karena suka. Bahkan ada yang ngeblog untuk diri sendiri. Komen dan di-tweet-kan itu bonus. Kalaupun sempat tenar, itu kecelakaan.

Apakah jumlah bloggers tetap? Setahu saya selalu ada blog baru. Tetapi soal updating tentu harus diamati.

• Apakah SEO topi hitam masih menjadi isu? Saya tak begitu paham. Setahu saya SEO itu baik, agar blog mudah ditemukan karena isinya relevan dengan yang dicari orang. Malah salah satu blog saya terpasangi plugin untuk SEO, tetapi saya tak tahu cara memakainya.

Saya hanya peduli dua hal. Pertama: para pencari informasi akhirnya juga pintar, tak ingin kejeblos ke blog yang isinya tak jelas tetapi terkemuka di hasil pencarian. Kedua: lebih penting dan bermartabat menghasilkan konten sendiri, bukan copy-and-paste, bila perlu foto dan ilustrasi pun bikinan sendiri — kalaupun memakai milik orang lain tetap pakai penyebutan. Ngeblog dulu, baru kemudian SEO menjadi pembantu. Bukan sebaliknya, ngeblog demi SEO.

Apakah blog bisa menjadi media alternatif bagi situs berita bahkan media cetak dan TV? Tentu tidak. Isi blog sangat beragam. Kalaupun isinya aktual, itu lebih bersifat perspektif dari si narablog. Gampangannya, blog merespon apa yang diwartakan oleh media konvensional.

Memang ada blog yang isinya pelaporan, bahkan berfoto, tentang kehidupan sehari-hari, tetapi menurut kacamata saya itu belum dapat disebut sebagai produk jurnalistik. Atau dalam istilah Pakde Totot, dan juga saya, itu “kesaksian”. Ada sejumlah syarat untuk menghasilkan produk jurnalistik, dan suka tak suka itu ada hubungannya dengan pelembagaan dan standar profesi bahkan perlindungan hukum. Simak tulisan saya dalam buku @linimas(s)a (ICT Watch, Jakarta, 2011). Supaya enak, di sana saya menyebut narablog sebagai “pewarta sukarela”, sekelas pelapor (=pencerita), sebagai lawan posisi dari “pewarta profesional” yang jurnalis.

• Apakah bloggers masih bahkan semakin senang tergabung ke dalam komunitas? Mungkin, dan semoga. Tetapi ada juga narablog yang tak tergabung ke dalam komunitas, dan nyatanya hubungan dengan narablog lain baik-baik saja, dalam arti tak pernah bertengkar apalagi berkelahi. Ada juga yang lebih penting: meski tak tergabung ke dalam komunitas mereka ini tetap produktif menulis.

• Bagaimana hubungan bloggers “pusat” dan “daerah”? Saya bingung. Apa itu pusat? Apa pula daerah? Narablog Jakarta, dan wadah komunalnya, jelas ada. Tetapi ibarat dalam PON, mereka itu tak beda dari kontingen lain. Hanya labelnya saja dari DKI Jakarta. Sama-sama daerah.

• Baiklah, diralat saja. Bagaimana hubungan bloggers Ibu Kota dengan bloggers di luar Ibu Kota? Setahu saya baik-baik saja. Kalau memang kenal, dan ada waktu, narablog asal Jabodetabeksertangsel menjumpai narablog di suatu kota dan sebaliknya.

Apakah benar bloggers Jabodeta… eh apa tadi, mendominasi blogosfer Indonesia? Sebentar, pengertian mendominasi itu apa? Saya belum memeriksa apakah jumlah blog dan total tulisan dari The Greater Jakarta itu melebihi daerah lain. Jika ya, mungkin mendominasi melalui jumlah wadah dan volume pesan.

• Mendominasi dalam arti pesan mereka lebih bergema, lebih diperhatikan? Saya tidak tahu. Tetapi kalau ngomongin soal bergema atau apalah, di Twitter itu omongan lokal pekicau Jakarta kadang lebih diperhatikan, bahkan tampaknya bisa dominan, padahal topiknya lokal, misalnya kemacetan karena hujan. Eh nggak tahu juga ding, saya sedang berjauhan dengan Twitter.

• Apakah benar bloggers Jakarta lebih dekat dengan korporat, lebih dekat dengan kekuatan asing, bahkan disetir oleh korporat dan agen asing? Nanti dulu. Kalau lebih dekat dalam arti kontak antarorang tertentu mungkin iya, karena markas perusahaan besar umumnya di Jakarta. Lagi pula sebagian narablog kan pegawai korporat juga. Kalau yang dimaksud asing adalah wakil negara asing, dalam hal ini korps diplomatik, mungkin juga dan itu wajar karena kedutaan mereka ditaruh di Jakarta, bukan Salatiga.

Kalau dekat dengan agensi komunikasi yang menangani korporat dan perwakilan asing, bisa juga. Umumnya kantor agensi utama berada di Jakarta, bahkan pegawainya pun ada yang ngeblog dan aktif di saluran media sosial lainnya — antara lain ya untuk bisnis. Wajar. Tetapi harus juga diingat, sebagian narablog dari luar Jakarta pun punya akses ke beberapa korporat di Jakarta — tak soal pemilik saham mayoritas si korporat itu asing atau bukan. Sudah biasa dalam bisnis kalau kontak personal itu dimanfaatkan, dan media sosial membantu kelancaran proses pendekatan. Kedekatan itu, secara teoritis, bisa membawa benefit. Hehehe…

• Soal disetir oleh modal besar dan kekuatan asing tadi? Memang menyetir itu gampang? Eh, maksudnya kedutaan asing ikut campur bahkan memfasilitasi kegiatan narablog, ya? Dulu waktu belum ada @america, saya membayangkan yang mendukung Pesta Blogger itu ya badan semacam USIS/UCIA dulu atau Lembaga Kebudayaan Amerika, bukan langsung oleh Kedubes AS. Kalau oleh kedubes terkesan banget dari pemerintah Amrik. Padahal kalau lewat badan yang didanai pemerintah sebetulnya sama juga, tetapi kesannya kan beda — apalagi kalau ada embel-embel “kebudayaan”. Hehehe…

Eh, hehehe, lucu juga. Dulu di zaman Orba rasanya senang kalau ada badan asing yang mendukung gerakan prodemokrasi dan penegakan HAM. Padahal itu kan menyangkut agenda asing juga. Tetapi mungkin kita tidak mendua, hanya mencoba memilah, dengan kesimpulan yang sekarang terjadi bukan dukungan untuk mewujudkan masyarakat madani, melainkan menggunakan media sosial dan pelakunya untuk memperkokoh ekspansi. Berbau Nekolim, begitu. Mungkin ada opini begitu. Ya terserah saja. Tetapi ada baiknya lho kalau ada panitia kegiatan narablog juga minta bantuan Iran dan Venuzeula. Biar imbang, sama-sama dipengaruhi asing. Hehehee…

• Soal modal besar belum dijawab. Apalagi kan kabarnya menyangkut isu Yahudi. Bagaimana? Wah saya tidak tahu apakah ada perusahaan Israel Zionis yang mendukung kegiatan narablog di Indonesia. Kalau soal Yahudi sebagai ras, lha apa salah mereka? Kalau soal modal besar dikuasai Yahudi, saya terus terang saja nggak paham petanya. Yang pernah saya dengar, beberapa korporat besar itu pemegang sahamnya ada orang Arab di luar Indonesia. Artinya juga asing, kan? Sama asingnya dengan orang Jawa warga Suriname.

• Benarkah ada perpecahan bloggers di Indonesia? Nanti dulu, lha ikrar bersatunya kapan kok bisa dibilang pecah? Untuk isu tertentu mungkin pernah bersatu, dan itupun bergandengan dengan pengguna lain layanan media sosial. Misalnya IndonesiaUnite dan Koin Keadilan. Banyak kepala, beragam komunitas, bermacam-macam pikiran, apa anehnya? Masa sih semua orang harus diseragamkan? Lagi pula masing-masing itu merasa sebagai narablog Indonesia, bukan narablog Amerika atau Armenia.

Ilustrasi: olahan grafis oleh Antyo; pemilik hak cipta gambar simpanse tidak diketahui

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *