PENGASUH ANAK ITU PERLU, SUPAYA ORTU BEBAS MELENGGANG DI MAL.
Sekitar lima-enam pengasuh anak, masing-masing berseragam, berkumpul di pojokan. Masing-masing beserta anak yang diasuhnya, umumnya balita. Ada yang sedang menyuapi, ada yang meninabobokan, dan ada juga yang beberapa kali harus berdiri lalu mengejar anak yang menjadi tanggung jawabnya.
Di mana ibunya? Menjadi bagian dari sepuluhan perempuan yang duduk mengelilingi meja panjang sebuah kedai kopi dengan kepulan asap rokok. Sebagian besar bersenda gurau sambil memainkan ponsel, ada juga yang memakai tablet. Derai tawa tak henti pada sebuah siang pada hari kerja itu.
Bukan pertama kali hal begituan saya temui. Pada akhir pekan, misalnya Sabtu, juga banyak ibu muda yang membawa anak dan pengasuhnya tetapi saya mendapatkan kesan setelah itu anaknya ditinggal.
Pada akhir pekan di mal juga tak sedikit pasangan muda yang melenggang beserta aksesoris besar bernama kereta bayi, pengasuh anak, dan anak. Suami-istri berkeliling dari toko ke toko, pengasuh dan anak mengikuti. Suami-istri mengudap, pengasuh dan anak menjadi pelengkap. Malah beberapa kali saya lihat pengasuh tak sempat mengasupi dirinya karena sibuk mengurus anak majikan. Pernah lho saya lihat pengasuh hanya menghadapi Teh Botol — berbeda dari tuan dan nyonya.
Tentu saya juga sering menjumpai suami-istri yang pergi ke mal tanpa bantuan pengasuh. Mereka bahu-membahu mengurusi anak sambil berbelanja maupun mengudap. Malah kemarin di Senayan City, Jakarta, saya masuk ke peturasan bersama seorang ayah muda yang mencangklong tas perempuan keperakan, sementara istrinya juga ke peturasan bersama putri kecilnya.
Manakah yang lebih baik, keluarga kecil pergi sebagai keluarga inti, ataukah membawa anak dan pengasuh supaya ayah dan ibu lebih leluasa?
Saya tidak dapat menghakimi. Setiap keluarga itu otentik. Masing-masing punya pandangan dan cara hidup. Termasuk dalam mengasuh anak.
Oh ya, saya punya cerita. Minggu siang kemarin, di Plaza Senayan, Jakarta, saya berpapasan dengan ibu muda cantik yang mengenakan jins, kaos putih, dan sepatu hak tinggi. Saya pernah melihat wajahnya di majalah fashion. Tingginya, tanpa sepatu, sekitar 170 cm. Kakinya panjang. Langkahnya lebar. Berjalannya cepat. Sekitar lima meter di belakangnya seorang pengasuh setinggi kira-kira 145 cm terpontal-pontal mengejar sambil menggendong anak usia sekitar dua tahun, sementara satu tangannya membawa belanjaan.
Ah, saya teringat seorang nenek dengan banyak anak yang pernah berujar, “Misalkan anak kalian belum dapat menikmati tempat yang kalian datangi, lagian kalo harus momong malah repot, padahal di rumah ada yang megang, mendingan anak ditinggal saja.”
Nenek itu mungkin tak memahami Jakarta yang sibuk, bergegas, dan pelit waktu. ;)
Nenek itu mungkin lupa bahwa anak juga perlu dipamerkan — tetapi kalau bisa tanpa repot menggendong, tanpa memeriksa popok kertas, dan tanpa menyuapi. Bahkan misalnya anak rewel, orangtua tak perlu sibuk menenangkannya. :P
Nenek yang pernah tinggal di negeri maju itu mungkin lupa bahwa Indonesia berlimpah tenaga kerja, termasuk pengasuh anak. :D