MAU SEKADAR ALBUM ATAU FOTO BERKISAH, ITU SOAL PILIHAN – DAN KEMAUAN.
Saya juga melakukan photoblogging secara mobile di Postyorous Menerous, dan secara otomatis tersedot oleh Facebook. Sebagian dari Anda juga. Di sana foto menjadi kekuatan utama para narablognya. Teks, berupa judul maupun isi, hanya pelengkap. Terkadang malah hanya judul, karena selain faslitas CMS (meminta tajuk) juga karena judul sudah menjelaskan, lalu selebihnya silakan mencerna gambar.
Saya? Ada yang tak beres dalam diri saya. Kadang saya tak cukup percaya kepada gambar sehingga masih nyinyir bercerita secara verbal.
Sebetulnya ini soal pilihan. Hanya ingin menampilkan foto saja juga boleh, karena Kementerian Kominfo tak mengaturnya — lagi pula apa perlunya? Artinya, menambahkan teks juga boleh. Dan saya memilih yang kedua.
Kenapa?
Pertama, karena saya ceriwis. Ada kegatalan untuk menambahkan catatan, dari opini sampai percikan permenungan.
Kedua, saya merasa perlu membingkai foto dengan konteks.
Album foto dan blog foto itu bagi saya berbeda. Album hanya menampilkan foto, lantas urusan konteks, atas nama demokrasi dan keengganan untuk memonopoli kebenaran, boleh dipercayakan kepada para pelihat. Sedangkan blog foto tak hanya menampilkan gambar sebagai apa adanya — syukur jika fotonya “estetis” — tetapi juga memberikan informasi tekstual lainnya.
Ini definisi siapa? Saya.
Bagi saya blog foto itu menarik ketika dia bisa menjadi salah satu dari sejumlah dokumen sosial. Menjadi serpihan dari potret zaman. Soal kualitas foto, apalagi jika diambil dengan ponsel biasa yang kebetulan berkamera biasa juga, tidak penting bagi saya. Yang penting ada cerita. Estetika nomor dua bahkan tiga.
Mungkin karena keterbatasan daya serap, seringkali saya tak menangkap konteks dari foto-foto bagus dan nyeni yang dihasilkan-oleh dan dipublikasikan-dari peranti mobile. Foto-foto itu kadang hanya enak dilihat sepintas saja.
Memang sih, ini soal pilihan. Bisa saja penyukanya, termasuk pelakunya, justru merasa lebih hepi dan nyaman.
Karena itu saya pun menghormati ungkapan macam ini: “Ngapain pake nulis segala? Emang kita bloggers? Nambahin kerjaan aja. Yang penting motret keren, punya banyak teman, sama eh iya hehehe… orang tahu kalo saya pake anu…” Anu itu ponsel cerdas mutakhir.
Malah ada lho yang lebih tegas, “Niat gue cuma gaul aja!” Artinya dia orang normal, masih punya kesadaran sosial; tak asyik dengan diri sendiri.
Baiklah, mari kembali ke pokok persoalan. Bagaimana dengan saya? Jujur saja, seringkali saya tak dapat menghadirkan konteks, hanya bisa memberikan teks.
Jika Anda melihat blog foto saya Oh!, seringkali yang ada cuma teks sebagai pelengkap, tapi tak memberikan informasi yang memperkaya pembaca. :D Bagi saya tak soal, yang penting saya sudah berusaha mensyukuri apa yang saya dapatkan bahwa saya melek aksara, sehingga sudah sepantasnya bisa membaca dan menulis.
Di sini saya tampilkan contoh dari blog foto beberapa kawan, tanpa meminta izin mereka. Mereka telah menghadirkan dokumen sosial: foto dan cerita, seringkas apapun, menjadi pencatat perjalanan masyarakat pada suatu masa.
Lantas apa moral ceritanya? Alat fotografi digital bukan lagi kemewahan. Ponsel di bawah sejuta rupiah mampu menghasilkan gambar lumayan. Setiap pemiliknya, kalau mau, mau merekam zaman untuk publik. Sekali lagi: kalau mau.
Sumber tangkapan layar:
• Iqbal » Gitarmu Terlalu Besar, Nak
• Totot » “Ke Pancoran, Pak…”
• Maharrani » Digital Mall
• Luwak » Bertahan
• Bangsari » Angkutan Korps
• Haris Firdaus » Toilet VIV
• Kurnia Septa » Ledok Selip Gajah