↻ Lama baca 3 menit ↬

SIKAP KITA TERHADAP SENI RUPA JALANAN TAMPAKNYA MENDUA.

blogombal-antyo-ngebom-tembok-langsat

Sebetulnya memalukan jika seorang pria berusia setengah abad bermain stencil art atas nama urban art atau street art atau apalah, pokoknya main cat semprot. Jelaslah, itu aib; bukan prestasi. Lebih jelas lagi, kalau bicara usia, pria itu masih kalah dari aktor Pong Hardjatmo masih kuat memanjat dan menyemprot.

Meskipun begitu ada bagusnya juga. Pria 50 tahun itu hanya ngebom tembok pagar kantornya sendiri. Bukan main hajar properti orang lain.

Masih ada kebagusan lain. Ketika penyemprotan dilakukan sore hari, serombongan anak SMP lewat. Mereka melihat semprotan yang masih berbau cat itu sembari saling berceloteh, “Keren nih. Boleh juga. Liat yang itu tuh… Eh, yang sana juga ada!”

Si bapak tua itu tersenyum. Memang untuk para kampret itulah dia ngebom. Daripada harus mengecat tembok lalu dicoreti lagi lebih baik mengajak mereka. Kalau perlu mereka ditantang, supaya tak menjadi vandalis kelas cemen.

Kalaupun tak sampai seminggu semprotan sudah dihajar grafiti kasar, misalnya “Taik loe” atau “Anjing!”, ya berarti pelakunya menyedihkan, tak memiliki kreativitas dan bingung dalam mengekspresikan maksud. Masih muda kok nggak kreatif. Sial benar, hidup cuma sekali cuma bisa memaki-maki. Eman tenan.

“Kalian mau ikutan nyemprot?” tanyanya.

“Mau, Oom! Mau!” kata salah seorang anak berkulit gelap.

“Emang boleh? Buat apaan?” sergah seorang anak berkulit terang, matanya menatap tajam.

“Boleh aja, asal kalian nyemprotnya yang bener, rada kreatif dikit, nyeni gitulah. Pake mikir juga,” kata si Pak Tua itu dengan gaya sok berbudaya.

“Nggak mau, ah! Capek!” kata si pemilik mata yang sejak tadi menatap tajam.

Aha! Dia tak salah. Memang itu sudah diduga.

Di luar kesenangan akan spontanitas dan tak mau diatur, serta menentang apapun yang mapan, mereka adalah sampel dari kelompok remaja yang malas berpikir, malas capek, pengin keren dan dapat nama secara gampang. Dalam bahasa (sok) ideologis, “Nggak bisa dong kita harus perang pake aturan main dari lawan. Nggak bakalan menang! Kalo ngelawan ya pake cara sendiri!”

Tentu di luar mereka masih banyak anak-anak muda yang memiliki pilihan, termasuk pilihan untuk berkreasi secara cerdas. Anak-anak muda yang beruntung. Bisa membuat aturan main sendiri tanpa menjadi anarkis.

Ngebom tembok. Kalau bagus seperti Banksy yang berkonsep* ya keren. Sayang, itu tak gampang. Membuat pola lebih lama ketimbang menyemprot. Apalagi kalau harus merangkai kata. Bikin capek — jadi bukan karena Banksy tak pernah memakai teks verbal.

Ngebom tembok adalah persoalan urban. Pelakunya bisa kelas atas yang mampu membeli sekian kaleng cat semprot impor Montana 94 (lihat Memo) sekaligus, bisa juga kelas bawah yang untuk membeli sekaleng cat lokal murahan seharga Rp 20.000 saja harus patungan. Yang pasti mereka punya persamaan: tak mau kalau rumahnya disemprot anak lain.

Selain tak mau juga sulit ditembus. Anak-anak dari kelas atas lebih terlindungi oleh arsitektur permukiman. Tinggal dalam cluster, bahkan rumahnya pun kadang masih bersatpam. Sulit bagi orang luar, bahkan tetangga, untuk ngerjain tembok rumah orangtua mereka.

Sedangkan anak-anak kelas bawah dilindungi oleh atmosfer sosial. Kalau rumahnya di permukiman padat, yang untuk bersirobok pun harus saling memiringkan badan, maka sulit bagi orang luar untuk ngebom tembok orangtuanya. Bisa-bisa pelakunya dikeroyok warga.

Ya, para “tembok bombers” itu adalah peminum adrenalin. Lihat saja di YouTube, di luar sana pun para bombers harus kucing-kucingan dengan polisi — dan itu dianggap keren. Meninggalkan jejak pada properti orang, selayaknya anjing kencing untuk menandai teritori, adalah tantangan.

Di sini, juga mungkin di kota lain di dunia, jejak semprotan adalah bendera geng (kalau di sini: juga sekolah). Barang siapa menimpa berarti menantang berkelahi — tepatnya tawuran dan keroyokan kalau di Indonesia, karena satu lawan satu meskipun keren dan jantan hanya boleh ada di film dan komik.

Berlatar itu, sikap kita terhadap seni rupa jalanan barangkali mendua. Di satu sisi kita menikmatinya dan mengabadikannya (kalau bagus), bahkan pernah (atau masih) melakukannya; namun di sisi lain tak rela jika properti kita yang menjadi sasaran.

Tentu ada juga sih orang sengaja menyemprot rumahnya sendiri. Pada awal 90-an, tembok pagar perupa dan kurator Jim Supangkat di Bukit Duri, Jakarta, disemprot tulisan besar “Jim”. Semprotan itu sekaligus penanda rumah.

Ada juga yang bukan semprotan, tetapi menggunakan mural rapi untuk menandai rumah. Orang itu Totot Indrarto, sang budayawan di blogosfer, yang berumah di Serpong. Ada gambar pemain sepakbola yang membelakangi jalan. Nomor punggung si pemain adalah nomor rumahnya. Memangnya nomor berapa? Rahasia. :D

*) Bisa jadi Banksy tak merasa berkonsep, hanya penggemar dan kurotor yang asyik menyusun konsep. :P

Catatan tambahan: bom-boman itu akhirnya diperkaya oleh sejawat si orang tua, misalnya Motulz, dengan “environmental art”. Menggunakan kompresor untuk menyapu jamur dan kotoran sehingga seperti cat putih. Proyek ini akan terus berlanjut. Mau ikutan?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *