Si Budi kecil kuyup menggigil
Menahan dingin tanpa jas hujan
Di simpang jalan Tugu Pancoran
Tunggu pembeli jajakan koran
Menjelang maghrib hujan tak reda
Si Budi murung menghitung laba
Surat kabar sore dijual malam
Selepas isya melangkah pulang
~ Iwan Fals, Sore Tugu Pancoran, 1985 — 26 tahun lalu
Setiap kali melewati lampu merah dekat Pondok Indah Mall, Jakarta Selatan, pada malam hari, saya mendapati beberapa bocah penjaja koran. Kadang ada juga anak perempuan usia sekitar kelas 6 SD.
Pernah beberapa kali saya membeli koran sore yang mereka jajakan. Koran sore masih memuat sebagian berita hari yang sama.
Akan tetapi belakangan saya makin sering melihat mereka menjajakan koran pagi. Seperti tadi, seperempat jam menjelang pukul sepuluh malam, setelah Jakarta Selatan usai dimandikan hujan. Mereka jajakan koran pagi yang memuat berita kemarin. Tepatnya koran Kompas edisi Minggu yang sebagian isinya sudah dipersiapkan beberapa hari sebelumnya.
Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu
Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu
Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu
Dipaksa pecahkan karang lemah jarimu terkepal
Saya saya tak tahu data terakhir Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) tentang tiras koran setelah penetrasi internet kian dalam dan meluas.
Saya juga belum pernah menanya anak-anak lampu merah itu. Tetapi dari seorang bocah penjaja koran bersepeda di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, saya pernah mendengar, yang membeli koran eceran itu, “Biasanya orang tua.”
Beberapa kali ketika sarapan gule warung kaki lima Pak Giyono, Gandaria, saya dapati koran milik penjaga warung rokok jarang menjadi bacaan bergiliran. Koran rakyat Sentana belum lusuh. Sesekali ada Lampu Hijau entah milik siapa, tergeletak di atas bangku atau kotak pendingin teh botolan, juga tak ada yang membaca selain sopir bajaj yang kongko di sana.
Koran cetak tak menarik lagi. Berita kemarin sudah lebih dulu muncul di TV dan internet. Beberapa orang biasa, bukan orang kantoran, mengatakan kepada saya cukup membaca Detikcom dari ponsel. Lalu seorang loper di Pondokgede, Jawa Barat, heran kenapa tiba-tiba sebuah tangga hanya melanggani Koran Tempo, sedangkan Kompas, Kontan, dan The Jakarta Post dicoret.
Jawaban paling gampang dan sekaligus mengakhiri pertanyaan adalah demi penghematan. Yang tak perlu tersampaikan adalah bahwa keempat koran akhirnya tetap terlipat, tak ada yang membaca, karena tuan rumah berangkat pagi, dan anak sulungnya kuliah di Bandung, sementara anak bungsu kurang tertarik koran (tetapi selalu mendengar isu mutakhir dari media sosial).
Rapat keluarga memutuskan cukup satu koran saja, adiknya majalah Tempo, karena isinya ringkas, ukuran kertasnya kecil.
Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu…
Bukan hanya anak itu. Semua orang. Termasuk pekerja media. Waktu berpacu kian kencang. Berita barusan cepat terasa basi.
Bukan hanya anak itu. Tetapi juga para konsumen media. Apa yang diharap dari kertas jika berita di layar lebih lekas dan selalu terbarui?
Tablet sangat berkemungkinan menjadi penyelamat koran. E-paper bisa dibaca di sana dengan membayar, tak perlu mengorbankan pohon, bahkan dari hutan tanaman industri sekalipun.
Situs koran yang berupa portal memberikan sepaket informasi: teks, gambar, suara, dan gambar hidup. Bukan hanya itu. Tulisan panjang yang komplet dan mendalam adalah sumber rujukan praktis tanpa harus mengliping koran.
(Ah, tiba-tiba saya ingat, pernah memotret Gus Dur sedang menggunting The International Herald Tribune, 21 tahun lalu, di kantor PBNU, Jakarta, dengan film hitam-putih Kodak Tri-X. Dia menggunting sambil ngobrol dengan Pak Somad, penyapu ruang)
Akan tetapi bin namun sekali, bukankah jika bicara internet berarti bicara Jakarta? Bicara Pulau Jawa?
Ya. Tetapi di manakah di Indonesia ini daerah yang diisi oleh banyak media cetak?
Untuk daerah lain yang belum tergarap internet cepat, kita tak perlu mengulangi proses ada banyak koran cetak dulu baru kemudian koran online. Tablet akan semakin terjangkau. Ponsel pintar buatan Cina juga akan semakin memurah. Operator akan semakin bersaing menjual koneksi data.
Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu…
Anak-anak yang menjajakan koran setiap petang hingga malam itu. Saya tak tahu sampai kapan jualan mereka ada yang membeli. Saya tak tahu kapan subagen akan menitipkan koran kepada mereka.
Memang pada beberapa pagi, tak berurutan, saya masih melihat kesibukan agen dan loper di Senen, Lapangan Banteng, dan kolong jalan layang Cawang. Sampai kapan mereka akan bertahan saya tak tahu.
Kelak beberapa agen besar, yang kebetulan bermarga Batak, mungkin hanya akan menyalurkan majalah. Bukan koran.
Dan kita tahu, tak semua majalah layak ditenteng dan dijajakan di lampu merah. Tak semua loper mau.
Koran cetak? Masih bertahan mungkin sampai sepuluh tahun mendatang, dengan isi yang berubah entah menjadi apa, tetapi masih disebut sebagai koran, dan mungkin tak perlu pengasong. Menurut Anda?