Undangan Pernikahan

▒ Lama baca 2 menit

MAHAL TAK SOAL. DILUPAKAN BUKAN PERSOALAN.

Yang membedakan undangan pernikahan dengan surat edaran pengurus RT adalah tipografinya. Sesuai kelaziman, undangan menggunakan huruf indah dengan legibilitas terbatas, sehingga harus dibaca dengan ketakziman. Sedangkan pada surat edaran, yang penting mudah dibaca dan dicerna. Pengantarnya sih bisa sama: anak Pak RT.

Meskipun begitu, respon penerima bisa serupa — terutama (mungkin) di kalangan pria. Yang penting adalah “kapan dan di mana”. Untuk undangan pernikahan, lebih bagus kalau ada peta. Kalimat indah hasil template biasanya terlupakan. Hanya teks unik yang menyengat otak dan hati. Misalnya saat Pakde Totot menikahkan putrinya, cukup kartu pos dengan penulisan naskah oleh narablog sejuta puisi Hasan Aspahani.

Ehm, jangan protes dulu. Saya tahu, Anda semua ingin mengatakan dua hal.

Pertama: undangan pernikahan berbeda dari undangan peluncuran produk apalagi surat edaran pengurus RT. Harus dibuat lebih bernilai sebagai bentuk penghargaan terhadap orang lain maupun (terlebih) diri sendiri.

Kedua: perkawinan itu menyangkut dua keluarga, bukan hanya mempelainya, sehingga undangan hanyalah hasil kompromi terhadap sekian kepentingan.

Ya, ya, ya. Saya paham. Bahkan setuju. Saya pun sepakat, agar tak repot ikuti saja paket contoh dari kios undangan, toh ini sudah lebih maju daripada blanko undangan bergambar tangan salaman edisi tahun 60-an.

Tinggal memilih sampel itu lebih jelas matematikanya. Ada harga ada rupa — mestinya rupa baru harga.

Akan tetapi Saudara-saudari, bagaimana nasib umumnya undangan? Jika dan hanya jika sebagai barang dia tak dapat dipakai ulang maka akan dibuang. Lain halnya jika undangan dimasukkan ke dalam ceret, atau kaleng celengan, atau dipaketkan bersama kemoceng. Umurnya pasti akan lebih lama — tepatnya: barang penyerta undangan, bukan undangannya.

Saya bukan tukang nguping tetapi kadang pesan masuk tanpa bisa ditolak. Selagi mengantre meja hidangan, saya mendengar seorang ibu berkata kepada suaminya, “Undangan boleh keren, tapi kateringnya cemen.” Tega nian.

Ada lagi yang lebih kejam. Serombongan gadis cantik di belakang saya, ketika mengantre salaman, berbincang pelan tentang foto-foto pranikah yang, “… oke sih shots-nya, tapi pengantin ceweknya gak ketolong. Kalo cowoknya sih jadi tambah keren.”

Tentang foto pranikah, seringkali seperti pemborosan. Sebagai foto banyak yang layak pandang, tetapi ketika dipajang di gedung resepsi hanya sedikit yang hirau — maaf, kalau kesan saya (sebagai pria) salah. Jika benar, maka kesalahan ada pada dekorator, dan ujung-ujungnya pada wedding organizer.  Ada sih yang lebih kreatif dengan memanfaatkan proyektor sehingga foto dan video menjadi show reel yang bisa dilihat selagi mengantre salaman dan hidangan.

Yang namanya perkawinan diharapkan hanya sekali and mempelais live happily ever after. Keluar ongkos banyak bukan masalah. Yang penting hadirin juga terkesan.

Sejauh saya alami sejak remaja hingga tua punya dua putri remaja, sepulang dari kondangan itu yang namanya perempuan tak habis bahan untuk membahas busana, tata rias, dekorasi, suasana, penampilan, dan entah apalagi, tak hanya dari mempelainya tetapi juga keluarganya, plus para pagar ayu (kadang sewaan, melalui agensi).

Artinya kehidupan berjalan normal. Itulah kembang-kembang peradaban. Termasuk tulisan nyinyir ini. :P

 

Tinggalkan Balasan