Musik Dulu Lebih Bagus daripada Sekarang (?)

▒ Lama baca 2 menit

PADAHAL SETIAP ZAMAN PUNYA MUSIK BAGUS :)

Musik 90-an lebih mengena, lebih keren, dan lebih bagus ketimbang musik sekarang. Kurang lebih begitulah ujar beberapa nyonya muda usia di bawah 30.

Lalu orang sebaya saya menganggap musik 80-an lebih pas dan mengena. “Ndak seperti lagu-lagu sekarang yang ndak jelas itu,” kata seorang teman.

Kemudian mereka yang mengalami masa remaja tahun 70-an hakkul yakin bahwa classic rock era itu adalah segalanya, dan “pop kreatif” Indonesia nyaman di kuping. Art rock/prog-rock, atau apalah, dari Genesis “era klasik” (bukan ngepop) yang nyastrawi, dianggap salah tonggak rock nan berkelas.

Sementara yang lain, fanatikus Koes Plus, mati-matian menentang adanya kaset dan CD “the best of Koes Plus” karena… semua lagu Koes Plus yang manapun pasti best punya. Tak ada yang burook dari Koes. Tiada yang perlu dikompilasi dari Koes sebagai lagu terbaik.

Sebagian dari kelompok 70-an itu suka dengan alasan ini: musikalitas dan virtuositas adalah segalanya. Koes Plus dengan alat sederhana, tanpa sekolah musik, dengan permainan drum Murry yang (kata orang sih) kadang nyeleneh, di studio empat jalur, bisa bikin lagu bagus, enak, gampang ditirukan.

Pink Floyd, dengan teknologi studio analog yang kuno, bisa membuat The Dark Side of the Moon (1973) yang menghadirkan suasana pyschedelic. Racikan sound Roger Waters dan penataan suara Alan Parson adalah bukti kreativitas era pra-MIDI.

Bohemian Rhapsody (Queen, 1975), dengan teknik rekaman yang melelahkan untuk menjadikan tiga mulut sebagai paduan suara berbanyak orang, sudah begitu penyuntingannya melibatkan pemotongan dan penyambungan pita, adalah puncak pencapaian rekaman analog 24 jalur — pada zamannya, sih.

Khusus untuk penggemar rock, ada pasal tambahan: dulu banyak album “berkonsep” bahkan literer, yang menunjukkan bahwa musisinya banyak membaca dan peka dalam menyerap masalah zaman :D

Led Zeppelin II (1969), sebagai misal, adalah bukti bahwa musisinya membaca karya-karya J.R.R. Tolkien, terutama The Lord of the Rings. Suatu hal yang akan membuat sakit hati jika anak penggemar menanya bapaknya, “Konsep? Nyastra? Milsafat? Emang itu penting, Pak? Yang penting tuh kayak klip di MTV: tiga menit lagu kudu rampung, videonya enak diliat.”

Ya, ya, ya. Sudahlah. Musik itu soal selera. Apa yang enak di kuping kita, dan lagu apapun yang kita suka, apapun genrenya, siapapun artisnya, berarti bagus.

Lantas kenapa sebagian orang (sekali lagi: sebagian) cenderung menganggap musik pada zamannya paling bagus?

Dalam beberapa kasus, artinya saya tak menjenderalkan, itu karena sebagian dari mereka di masa tuanya cenderung kurang mengikuti album musik baru. Masalah utama adalah waktu: sedikit kesempatan untuk menyimak — lebih dari sekadar mendengarkan — musik di luar radio (di mobil) dan TV.

Sudah lebih dari sekali saya mendengar keluhan para bapak maupun ibu bahwa setelah menikah dan punya anak maka kesempatan menikmati musik berkurang.

Selain itu, menurut saya sih, musik keluaran mutakhir sudah jauh dari cohort generasi sebelum hari ini. Sudah jauh dari pengalaman kolektif dan spirit semasa yang dibingkai oleh sesusur arus zaman — ini sebuah tempurung maya yang melebihi nostalgia.

Maka penggemar D’Lloyd (Sepanjang Lorong yang Gelap) dan Mercy’s (Kisah Seorang Pramuria), berbeda tantangan dan serapan masalah zaman dari penggemar Efek Rumah Kaca maupun Risky Summerbee & the Honeytheft — dan tentu Slank. Alam pikir penggemar Grand Funk Railroad di Indonesia berbeda dari penggemar Radiohead.

Itu sebabnya konser dan acara yang seolah hanya kemasan nostalgis untuk setiap wakil generasi bisa laku. Yang ingin dipungut bukan hanya kenangan yang personal tetapi juga élan.

Maaf jika pembandingan antargrup itu aneh bagi Anda. Maklum saya bukan kritikus maupun pengamat.

Maka bisa dimaklumi jika teman yang lebih tua dari saya, penggemar Beirut, membuat sebayanya bingung, karena sejak awal terkagum-kagum terhadap MGMT jauh hari sebelum band itu terkenal, sebelum (akan) mentas di Jakarta. :D

Bagaimana dengan saya?

Jelas, saya awam musik, tak dapat bermain musik, dan tidak mengikuti perkembangan musik secara intensif (baik musik luar maupun domestik). Meskipun begitu saya berpendapat bahwa setiap zaman punya musik bagus. Risky Summerbee dan Individual Life (padahal cuma dengar sampel), sebagai contoh (yang kebetulan dari Yogyakarta), buat saya kok bagus dan cocok. :D Atau, sebut saja, The Trees and The Wild — yang kebetulan dari Bekasi. :)

Menurut Anda bagaimana, apalah musik zaman Anda memang lebih oke bahkan mulia?

Tinggalkan Balasan