↻ Lama baca 2 menit ↬

ANGGAP SAJA WARNA-WARNI KEHIDUPAN. :)

Pria itu tersenyum ketika membaca sapaan di Facebook dari bekas sejawat, apakah dirinya masih suka masuk kerja sore hari. Soal datang sore itu belum tentu setahun lima kali. Kalaupun terjadi, beberapa kali karena pagi harinya dia baru keluar dari kantor.

Masih ada beberapa orang yang mengira begitu. Hanya seorang ibu kepala bagian, dan korps satpam, yang tahu bahwa pria itu hampir saban hari datang pagi. Hampir setiap hari. Sangat pagi. Sebelum cleaning service datang. Sebelum office boy tiba. Ketika kunci-kunci pintu masih tersimpan di markas satpam. Ketika pelataran parkir masih lengang. Selain dia, sebagai pembuka pintu adalah si ibu dari bagian lain itu.

Datang sore. Itu proyeksi persepsional orang lain. Tak selamanya terbuktikan secara statistik.

Tetapi bisa juga statistik dimainkan, dan tampak masuk akal. “Tiga kali saya bareng sampeyan lagi nggesek ID card,” kata saksi lain.

Tiga dari tiga kali jejer di mesin presensi berarti seratus persen. Sahih.

Tiga kali dalam rentang satu setengah tahun. Itu pun karena paginya lupa presensi. Kebetulan untuk profesi dan jabatannya tak ada kata telat dalam presensi, tapi juga tak ada jam lembur.

Tentang persepsi. Kita tak terima kalau persepsi itu negatif, dan cenderung merugikan “citra diri” kita.

Tetapi apakah persepsi kita tentang orang lain, tentang orang-orang biasa, bukan tokoh ternama, juga selalu benar? Apalagi jika kita diracuni oleh bisikan wangi kanan-kiri, depan-belakang, dan atas-bawah?

Teman saya, sebut saja Ngalimin, hampir tak peduli tentang begituan karena, “Semua orang baik sampai nanti terbukti sebaliknya.”

Bagi kita, apa yang kita harapkan itulah yang kita percayai. Maka ketika seseorang yang kita anggap ceroboh melakukan kelalaian biasa, kita akan mudah mengatakan, “Dasar…”

Tetapi ketika orang lain yang kita nilai correct, dan baik hati, melakukan kesalahan fatal, maka bisa saja kita menganggapnya hanya kealpaan, atau lagi apes.

Boleh tahu apakah Anda pernah korban persepsi? :) Baik yang ringan (misalnya selalu diidentikkan dengan celana pendek dan oblong) sampai yang agak serius (pemalas, ngantukan)? :D

Atau barangkali malah korban salah sangka bahkan salah dakwa dari peristiwa bertahun-tahun lampau gara-gara ucapan seseorang?

Seorang teman meyakini bahwa si Anuitu, ketika meminta visa ke sebuah kedutaan asing di Jakarta, menjawab, “Sex? Yes, I like it! Twice a week!

“Kenapa sih dia bisa senaif dan senekat itu?” tanyanya kepada saya, tujuh tahun kemudian. Padahal saya tahu persis itu dulu hanya olok-olok. Hanya cerita karangan untuk guyon.

Masih untung kalau hanya lelucon. Benar atau salah tetap mengundang tawa. Tetapi jika, “Lho, jadi yang dulu ngambil aki mobil operasional itu bukan sampeyan to?” tentu berat juga.

Ketika kita dalam posisi penyangka atau pendakwa, karena bisikan orang lain, maka dengan mudah kita akan berkilah, “Kalo nggak ada bantahan berarti bener.” Berposisi sebagai polisi merangkap jaksa dan sekaligus hakim itu memang enak. :D

Yang paling sial adalah jika kita tak sadar bahwa selama bertahun-tahun menjadi korban salah sangka.

Yah, namanya juga kehidupan. Tabahlah. :)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *