GABUNGAN KEMALASAN DAN KETIDAKPEDULIAN.
Terhadap judul di atas, Anda bisa mengatakan bahwa itu sudah merupakan naluri setiap makhluk hidup. Baiklah, tetapi haruskah semua naluri dituruti?
Maka izinkanlah saya menyodorkan pengandaian. Misalkan selagi menggendong anak kecil sambil menyusuri trotoar, kemudian Anda dikejutkan oleh klakson sehingga terlonjak, lalu memepet pagat berduri sehingga si kecil tergores bahkan tertusuk kawat berduri, bagaimana?
“Makanya kalo jalan ati-ati, liat kanan-kiri, atas-bawah,” kata teman Anda.
“Salah sendiri kenapa manusia menemukan kawat berduri, ” kata teman yang lain.
Baiklah, tetapi kehati-hatian kita mestinya diimbangi oleh pengurangan risiko oleh pihak lain, bukan? Itulah bedanya hidup di tengah belantara dan hidup di ruang bersama bernama kota.
Maka inilah contohnya. Di depan kantor Bank BNI Cabang Mayestik, Jakarta Selatan, ada kawat berduri pada pagar trotoar.
Mari kita urutkan. Pagar trotoar adalah hal yang aneh. Ini cerminan pikiran birokrat penjaga ketertiban kota. Daripada repot mengusir pedagang kaki lima, dan mengusir kendaraan umum ngetem, maka kenyamanan pejalan kaki boleh diabaikan: pasanglah pagar. Para pejalan akan melintasi lorong terang (kalau siang) tapi berpagar. Merepotkan saat berpapasan. Terpojok saat dihadang penodong.
Tentang kawat berpagar di bagian atas dan bawah pagar BRC itu saya tak tahu siapa yang memasangnya, birokrat ataukah pemilik properti terdekat. Tujuannya sih mencegah kehadiran pedagang kaki lima dan menghalau siapapun yang gemar bersandar pagar. Yang penting trotoar tampak “rapi” dan “tertib”. Manusiawi atau tidak, itu lain soal. Masih untung pagar tidak dialiri setrum bertegangan tinggi — begitu mungkin kata si pemasang.
Sekitar tiga ratus meter dari pagar berduri itu, ada sebuah kantor. Pagar depan, yang ditempeli logo dan diterangi dua lampu halogen, dikawal oleh dua deret besi runcing. Saya tak tahu apakah yang akan dilindungi karena tembok berlogo itu lebih tinggi dari bagian lainnya. Orang normal yang ingin melompat tentu memilih tembok yang lebih rendah. Lebih normal lagi jika memilih melompati pintu gerbang yang setinggi tembok karena ada pijakan untuk memanjat.
Begitulah, sebagian dari kita masih menyukai cara perlindungan diri yang mengancam pihak lain. Ini serupa pengguna mobil kota yang memasang tanduk besi pada bemper. Pabrik sudah memasang bemper yang lunak agar tak membayakan orang yang tersenggol atau tertabrak, tetapi konsumen malah memasang bull bar. Mungkin pemiliknya selalu merasa di medan off road terutama ladang dan hutan perburuan.
Ini juga serupa orang mengaliri setrum pada propertinya supaya pencuri kapok. Kalau yang dimaksud jera adalah mati, mungkin tepat. Dua puluh lima tahun lalu (sic!), majalah Tempo menyimpulkan, “Ketika orang merasa tidak aman, bisa saja lalu melindungi diri tanpa peduli keamanan umum.”
Dari sisi pemasang alat pengancam saya menduga mereka melakukannya karena tak ada kepastian hukum. Karena ketika ditelepon polisi tak segera datang — kalau dalam film (asing) sih cepat banget — maka orang memilih cara pengamanan diri yang membahayakan.
Jika menyangkut pengamanan tempat umum versi birokrat, ya berunsur kemalasan. Ketimbang pagi sampai malam mengerahkan petugas untuk menghalau pedagang kaki lima, maka lebih baik memasang pagar trotoar.
Mengerahkan penghalau, meskipun itu sudah merupakan tugas mereka, juga butuh dana, bukan? :P Lebih nyaman kongko di kantor ketimbang ke lapangan. :P