Wikileaks, Kebebasan Infomasi, dan Media Sosial

▒ Lama baca 2 menit

Beberapa kasus bocoran dalam Wikileaks cuma kita anggap hiburan. Misalnya Kanselir Jerman Angela Markel disebut sebagai “teflon” kalangan petinggi Amerika Serikat karena tak ada satu pun yang bisa nyantel dalam dirinya. Lantas Presiden Iran Ahmadinejad dibilang lebih mirip Hitler.

Geger Wikileaks telah meletupkan kontroversi. Intinya, yang dirugikan merasa tak terima. Lantas muncul tudingan tentang konspirasi: mempermalukan lawan (dan bukan lawan) dengan memperdayai orang lain yang dengan senang hati menyebarkannya.

Kontroversi Wikileaks menggelembung karena peran media, terutama media sosial. Inilah era ketika informasi dipreteli, disebarkan, dimaknai, dipreteli lagi, dan disebarkan (pun dimaknai) lagi oleh banyak orang biasa (bukan jurnalis). Oleh orang-orang yang memiliki medianya sendiri. Oleh orang-orang yang tak bergantung kepada para editor.

Debat tentang hal itu akan terus berlangsung, dengan tiga pokok soal.

  • Pertama: apakah yang disebut sebagai kebebasan arus informasi?
  • Kedua: dalam batas apa, dan dalam soal apa, rakyat pembayar pajak boleh tahu rahasia pemerintahnya tanpa menunggu tibanya deklasifikasi dokumen?
  • Ketiga: dalam batas apa, dan dalam soal apa, masyarakat suatu negara boleh tahu rahasia korporat yang menjaring dana (saham) dari khalayak?

Dalam lingkup suatu negara saja sulit apalagi di luarnya. Kini batas geografis hanya garis di atas peta, bukan lagi penyekat informasi, padahal informasi kian tersebar karena media sosial. Maka hanya pemerintahan senewen, bingung, dan kurang pede, yang ingin memberangus informasi.

Jika menyangkut bisnis, maka mobilitas kapital menjadikan urusan sebuah korporat bukan lagi di ranah domestik. Apalagi jika korporat asing menyuap pejabat suatu negeri dan merusak lingkungan. Itu uruan semua orang, bukan hanya pemegang saham.

Di tengah diskusi itu bisa saja muncul respon yang mungkin lucu, naif, tapi bagi saya mendasar. Misalnya, “Kami senang dengan bocoran di negeri lain maupun perusahaan lain, dan menikmatinya. Tapi kami tidak suka kalau dibocorkan lantas jadi olok-olok.”

“Kami” itu bisa sebuah pemerintahan, bisa sebuah perusahaan. Pokoknya urusan pihak lain. Pokoknya boleh dirayakan. Lantas protes pihak lain –– “Napa sih sampe segitunya, kami kan nggak pernah mau tahu rahasia kalian?” –– akan kita anggap kekanak-kanakan.

Ah, biasa kata Anda. Di mana-mana orang kan mau menangnya sendiri, kata teman Anda. Apalagi sekarang zamannya kebebasan informasi, kata teman yang nimbrung.

Jika untuk hal yang tak secara langsung merugikan tapi kita secara berlebihan menikmatinya, lantas apa bedanya dengan kita menikmati dan menggandakan gosip beserta pasal cemar para pesohor, hanya saja kita tak rela jika urusan pribadi kita tersiar tanpa izin kita?

Mungkin kita bisa bilang urusannya berbeda. Jika menyangkut kebijakan publik tentang lingkungan maka tak boleh ada rahasia. Tapi jika menyangkut urusan ranjang orang –– bukan ranjang yang sedang dirakit di pabrik dengan bahan kayu hasil pembalakan liar –– maka itu boleh diabaikan.

Begitukah?

Dimuat di Kolom Paman Tyo, detikinet Senin 6 Desember 2010

Tinggalkan Balasan