“Salam kangen dan rindu buat Arip Santoso yang dulu pernah kerja di PT Propan Raya Tangerang. Mas Aip masih ingatkah kau padaku? Tolong hubungi aku…”
“[…] mantan kekasihku Sri di Pemalang, di mana kamu sekarang berada? Apa betul kamu sudah nikah? […]”
Apa bedanya kangen dan rindu, seperti pada awal tulisan, saya tidak tahu. Biarlah itu menjadi urusan ahli bahasa. Tentang kenapa nama perusahaan si mantan diumumkan, ah… itu kan cara untuk mempersempit identifikasi. Siapa tahu ada banyak Arip Santoso, karena pencarian di Google dalam 0,33 detik menghasilkan sekitar 60.000 temuan.
Dua lontaran tadi tidak saya dapatkan di Twitter maupun dinding Facebook melainkan di halaman 12A Pos Kota, Rabu 1 September 2010. Tiba-tiba saya tersadarkan oleh satu hal: konversasi khalayak tak hanya berlangsung di media baru tapi juga tetap berjalan dalam media lama (kertas).
Tentu ada bedanya. Di jagat online, apa yang muncul di public timeline, dan tak diproteksi oleh si penulis, dapat dibaca siapa saja dan dikomentari oleh orang lain secara lebih lekas.
Bukan hanya itu. Orang lain pun dapat menyebarkannya, mempreteli bagian yang perlu, lalu mengemas ulang sebagai konten di media baru. Dan ujung dari semua itu adalah pengarsipan dan pencarian oleh mesin pencari.
Internet telah membangun khazanahnya sendiri dan tak dapat dihentikan kecuali oleh rezim yang memutuskan semua akses warganya ke internet – tapi itu pun harus berhadapan dengan dunia luar dan selundupan teks dalam format apapun.
Memberi kesempatan kepada sebanyak mungkin orang (yang melek huruf) untuk membangun khazanah pengetahuan adalah sesuatu yang baru dan menggairahkan dalam sejarah peradaban. Internet memberikan itu.
Dalam kasus media lama, yaitu Pos Kota versi cetak, para pengguna rubrik “Mau Ngucapin Selamat?” menggunakan SMS. Sebagian besar mencantumkan nomor ponselnya secara lengkap. Karena nomor ponsel adalah bagian dari identitas, maka yang dilakukan pengirim SMS di ranah publik itu tak beda dengan yang dilakukan di Facebook. Bedanya, di Facebook belum tentu menampilkan ponsel. Yang penting ada pernyataan diri.
Yang pasti proses digital penyampain pesan telah ditempuh. Dari ponsel pengguna, ke SMS gateway, lalu komputer editor akhir, lantas ke komputer desktop publishing, dan seterusnya, dan akhirnya media pemuatnya dibawa oleh loper bersepeda.
Lama, kan? Balasan dari pembaca hanya bisa via editor atau langsung ke ponsel “pencurhat”. Cara yang pertama akan bertemu filter, belum tentu dimuat. Cara yang kedua tidak akan muncul di ranah publik.
Sebagai rubrik, sebelum ada SMS, pengiriman salam ini biasa. Artinya sejak awal memang banyak orang membutuhkan konversasi publik. Isinya boleh sekadar menanya kabar, dengan bumbu mendayu maupun cengengesan.
Apa hubungannya dengan media sosial? Kebutuhan akan konversasi ini yang bisa membantu kita menjelaskan kepada orang luar kenapa Facebook dan Twitter cepat merasuki kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan Facebook dan Twitter, selain Yahoo! Messenger, sudah menjadi fitur yang wajib diiklankan dalam ponsel murah meriah di bawah Rp 400.000.
*) Dimuat di detikinet.com, Kamis 2 September 2010