Misalkan saya sedang berpuasa mungkin puasa saya batal gara-gara gangguan pagi hari tadi. Orang bilang itu soal sepele tapi nyatanya dalam sepuluh kilometer berikutnya saya masih membatin, tidak dapat menikmati radio, dan istri saya pun tak dapat mengajak bercakap lebih banyak.
Penyebabnya? Ketika mengedrop si sulung di pelataran sekolah maka saya pun mengantre. Saya tahu bahwa mobil depan berisi tiga anak.
Saya juga paham bahwa sebagian anak yang diantar tak diajari orangtuanya untuk berkemas sebelum turun. Akibatnya antrean pun menjadi lama gara-gara kedua nona kecil itu sibuk sebelum kaki menginjakkan tanah. Bahkan setelah di luar mobil pun masih sibuk ini dan itu padahal bawaanya tak seribet orang yang akan pergi sebulan.
Setelah dua anak usia SMP itu keluar, lalu melenggang meninggalkan Toyota Innova keperakan, giliran penumpang di jok depan. Tak terlihat sosoknya. Tapi pintu kiri sudah terbuka sejak mobil berhenti.
Saya masih sabar. Istri saya yang tak sabar, meminta saya mengklakson. Saya menolak. Ini di halaman sekolah dan mobil depan mungkin punya masalah.
Lama kelamaan antrean yang terlihat di spion saya kian panjang. Dan saya tahu, itu berarti buntutnya di jalan sana sudah menghambat bus kota, mobil penumpang, dan bahkan motor.
Saya kedipkan lampu. Tak ada reaksi. Klakson yang tinggal pencet bukanlah alasan untuk membunyikannya kapan pun. Saya minta istri memanggil satpamwan, empat meter dari posisi kami. Tapi sang satpamwan, yang setiap jam masuk dan bubar sekolah harus mengatir kendaraan, itu masih asyik ngobrol dengan seseorang sambil tertawa-tawa.
Antrean kian mengular. Dari belakang sudah terdengar suara klakson. Mobil depannya ikut berbunyi. Untung tak sampai bising.
Lantas saya pun berpikir kalau saya tak mengklakson, sementara si satpamwan tak peduli, maka sumbatan tak terbuka. Apa boleh bikin. Klakson pun saya bunyikan. Sekali. Dengan pencetan mengambang. Tak ada reaksi.
Saya keluarkan kepala dari mobil dengan harapan pengemudi mobil depan memahami masalah. Kaca mobilnya tetap tertutup. Saya klakson lagi. Seperti cara tadi. Tak ada reaksi. Saya ulangi lagi. Tak ada reaksi. Saya ulangi lagi.
Saya tahu mobil itu tidak mogok. Saya tahu, dan semua orang tahu, bahwa di sisi kiri ada tempat untuk berhenti lebih lama. Tapi tidak dia lakukan.
Akhinya keluarlah penumpang dari jok depan mobil itu. Seorang siswi SMA. Sambil berjalan dia bersungut-sungut, dan menengok ke arah saya dan istri, “Kan tas saya putus.”
Saya lihat tali tas Kipling hitamnya memang terlepas. Waduh Neng, kenapa nggak turun dari tadi, menepi, lantas bikin betul itu tali? Tali tas putus di sebuah pelataran sekolah telah merugikan pengguna jalan raya.
Mungkin saya berlebihan. Tapi dalam kesal, dan setelah meneruskan perjalanan, saya merenung dan jadilah judul di atas. Tentang kata lama bernama budi pekerti. Kata jadul. Sekarang pengucapnya akan dianggap aneh atau melucu.
Jalanan dan cara berkendara(an) adalah potret sosial kita. Misalnya menjalankan mobil secara pelan di lajur kanan, atau malah sekalian mengangkangi garis jalan, masih ditambah berhal-halo pula, bahkan ber-SMS. Sering kita jumpai, naik sepeda motor pun sambil SMS-an.
Mau tambah contoh? Lihatlah di dekat gerbang masuk mal dan hotel, ada saja mobil yang berhenti lama, dengan maupun tanpa lampu hazard, tapi jika mobilnya bagus maka satpam tak menghalau, karena mobil itu menunggu tuan dan nyonya yang tak segera keluar dari mal. Tuan, nyonya, dan nona sudah menelepon sopir sebelum tiba di pintu keluar tapi dalam perjalanan mereka tergoda etalase; itu pun sambil menelepon.
Saya rasa ada yang tak beres dalam masyarakat kita. Budi pekerti, yang salah satunya adalah kepatutan berperilaku dalam hubungannya dengan kepentingan orang lain, sudah tak dianggap penting.
Saya menduga salah satu sebab adalah kebingungan kita dalam menempatkan mana yang privat dan mana yang publik. Di rumah sendiri kita menjaga kebersihan selayaknya rumah sakit bagus, tetapi di ruang publik boleh semaunya karena merasa sudah ada petugas yang membersihkannya. Dalam bentuk yang sederhana: mobil sendiri harus bersih sehingga sampah harus dibuang ke luar tanpa hirau tempat.
Di sisi lain, sebagian dari kita lebih sibuk dengan kesalehan yang masih egosentris, kurang altruistis. Hubungan dengan yang Maha Tinggi lebih utama ketimbang urusan bersama di ruang publik — padahal mestinya paralel. Sebagai orang saleh sebagian dari kita menganggap pemerkosaan terhadap bahu jalan tol bukan dosa, begitu pula dengan menyerobot antrean di segala urusan — terlebih di lampu setopan.
Jangan-jangan korupsi pun tak dianggap dosa, apalagi jika pelakunya saleh dan sering menyumbang rumah ibadah, sehingga para pembimbing iman akan mengatakan, “Jangan menjadi hakim untuk perkara yang tidak kita ketahui. Saudara bukan KPK.”
Dalam sebuah obrolan, beberapa teman mengutamakan kesalehan pribadi (masing-masing sesuai Ajaran yang dianutnya), dan salah seorang dengan tegas mengatakan (kurang lebih), “Orang yang bener dalam kehidupan duniawi tapi jarang ke rumah ibadah, malah suka berselingkuh dan nonton striptis, maka dosanya berlipat. Kalau secara pribadi religius dan saleh tapi di luaran dianggap sering rugikan orang lain itu karena dia korban sistem, padahal sebagai orang hidup kita harus nyesuain diri sama masyarakat. Itulah gunanya beribadah.”
Saya bukan ahli surga dan neraka. Tapi bagi saya hubungan pramarital maupun ekstramarital itu urusan pribadi, tidak merugikan orang lain di luar pasangan itu. Yang merugikan orang lain, misalnya, ya itu tadi, orang yang sembarangan di jalan. :)