↻ Lama baca 2 menit ↬

TAK CUKUP HANYA MEMPERTAHANKAN FACADE DEMI KLANGENAN.

Kedai masakan Cina Soen Yoe sudah buka sejak awal tahun 40-an. Tak sedikit pelanggannya yang datang dari tiga generasi: opa-oma, papa-mama, dan anak-anak muda yang sudah bisa beranak. Menurut pemiliknya, pria hampir 70 tahun, generasi kedua dari marga Lie yang bersuku Khek (Hakka), nama itu berarti “semoga sukses dan lancar karena banyak teman”. Aneka mi masih menjadi andalan. Mohyangnya menurut saya paling enak se-Jakarta. Es lobi-lobinya lumayan. Buahnya, kata si pemilik kedai, “Dianter dari kulon, Serang sana.”

“Orang lama di sini tinggal ada empat rumah,” kata lelaki yang saya sapa Oom itu.

Orang lama yang dia maksudkan adalah penghuni lama di Gang Kelinci III (dulu Gang Sutek), Pasar Baru, Jakarta Pusat. Kedai Soen Yoe pun tak dihuni di luar jam kerja. Pemiliknya tinggal 300 meter dari sana. Sekitar sebelas pegawainya tinggal di mess, tak jauh dari kedai. Wajah bisnis lama yang masih ada di sana misalnya penjual dan pembuat keranjang rotan untuk hantaran.

Oh! Pasar Baru! Semakin berubah. Facade bangunan-bangunan lama sudah berganti tampang. Hanya Toko Kompak yang masih utuh. Bekas kediaman Tio Tek HO, satu dari lima mayor Cina di Batavia (Tan Eng Goan, Tan Tjoen Tiat, Lie Tjoe Hong, Tio Tek Ho [1896-1908], dan Khouw Kim An) itu ditetapkan sebagai cagar budaya oleh DKI.

Pasar Baru berubah bukan hanya pada tampang tetapi juga atmosfer. Sudah sekian lama mobil dan motor boleh masuk lagi. Kata beberapa orang toko itu untuk menghalau pedagang kaki lima. Hampir tak beda dari pasar lain.

Memang, setelah Pasar Baru memuliakan pedestrian maka pedagang kaki lima juga mengambil kesempatan. Hasilnya: semrawut. Penjaja kali lima bukan lagi penukar valuta asing (warisan zaman kapal; saat money changer 24 jam belum ada) seperti dulu yang cuma nyender di sebelah etalase. Penyedia barang di lorong bukan lagi penjaja edisi bekas Hustler, High Society, dan Penthouse — saat itu, sampai akhir 80-an, belum ada internet. ;)

Membandingkan Pasar Baru dengan mal tentu keliru pendekatan. Mestinya Pasar Baru tetap sebuah down town, centrum, seperti umumnya kota besar. Kelebihannya adalah pada ketersediaan barang unik (seorang teman mendapatkan boots klasik Dr. Martens, bukan Drs. Martens [kayak nama akuntan saja] yang palsu, di sana) dan syukur kalau asali tapi murah meriah.

Selain itu tadi, tentu saja wajah dan sisa atmosfer kota lama yang membuat warga merasa punya asal-usul, tidak tiba-tiba lahir dan hadir sebagai manusia dewasa yang melompat dari dalam sebutir kelapa pecah. Tidak juga memaksakan elemen artifisial supaya tampak kuno sekaligus sebagai tetenger (landmark) baru — kalau kurang bijak malah bisa dianggap sebagai resinofikasi (pencinaan kembali, semacam pengandangan), bukan pengakuan terhadap keragaman, oleh penguasa.

Karena mal sejuk menjadi tempat hiburan keluarga sejak pagi sampai petang, maka atas nama kegerahan terhadap iklim tropis bisa saja butik dan branded outlets tak mungkin dibikin di Pasar Baru. Terbukti toko sepatu Sin Lie Seng masih bertahan, padahal sempat terbakar tahun lalu.

Jadi apakah yang kita butuhkan dari Pasar Baru dan tempat sejenis, apakah hanya pada pengembalian tampang bangunan? Jika jawabannya “ya”, lantas untuk apa selain klangenan dan pamer ke turis (tapi yang tahu riwayatnya hanya pemandu)?

Saya tidak tahu apakah dalam revitalisasi kota lama di semua daerah juga mencakup subsidi (misalnya korting PBB dan bantuan biaya perawatan untuk rumah tinggal kalau NPWP pemiliknya membuktikan penghasilan rendah), dan kesadaran para pemangku kepentingan bahwa musea (maksud saya museum-museum) saja tidak cukup tetapi harus disertai penghidupan fungsi periagaan. Kalau untuk toko sudah tidak menguntungkan ya untuk kantor.

Ekstremnya, kalau untuk kantor pun kurang menyenangkan ya untuk kawasan kafe, karaoke, dan diskotek sekalian. Tapi wajah luar bangunan dan jalanannya tak berubah, pun tetap nyaman untuk pejalan kaki. Di Pasar Baru kemarin, motor dan mobil tak mengklakson (tumben, padahal penyakit Indonesia adalah “alon-alon waton klakson”), tapi tiba-tiba memepet saya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *