↻ Lama baca 3 menit ↬

KOTA JAWA YANG MENCOBA MEMPERTEGAS SOSOK.

Solo? Untuk kesekian kalinya saya mendatanginya saat gelaran Solo (Sharing Online lan Off-line) oleh dan untuk bloggers pekan lalu. Dan tetap saja saya buta kota buta peta. Tapi ada perubahan, rambu petunjuk mulai bertambah. Tak seperti tiga tahun lalu ketika saya sekeluarga berlibur beberapa hari dengan mobil sewaan. Dan tentu seperti umumnya kota-kota di Jawa (Tengah), warganya memberi ancar-ancar lokasi dengan lor, wetan, kidul, kulon (utara, timur, selatan, barat). Orang luar yang tak memiliki kompas akan bingung — kecuali dia melakukan salat.

Solo akhirnya meneguhkan apa yang sudah lama tersebut: Solo (dengan “o” seperti pada Oslo). Bukan Sala (“a” dibaca “o” seperti pada “Harto”). Dan Surakarta hanyalah nama administratif. Solo adalah Jawa lama dan Jawa baru.

Jawa lama ada pada semangat revival, mencoba mempertahankan aksara Jawa meskipun nasib aksara Jawa berbeda dari aksara Thailand, Kamboja, Jepang, dan Cina, yang kesemuanya masih fungsional. Tak apa, yang arkais harus dihadirkan supaya orang tak lupa asal-usul.

Adapun Jawa baru antara lain terlihat pada cara berbahasa Jawa tertulis orang-orang Solo, kota yang berslogankan the spirit of Java: tak perlu mengikuti kaidah lama. Wedi dan wedhi itu sama — padahal artinya berbeda. Begitupun loro (dua) dan loro (sakit). Yang penting sama-sama paham karena diikat oleh konteks. Kalau Anda ingin tertib tulis, silakan ke Amerika, menemui Mbak Nancy.

Jawa baru ada di mana lagi? Dalam keseharian. Beberapa pemilik warung kelontong dan kaki lima akan menyapa dalam bahasa Indonesia kepada tampang Jawa yang bahasa tubuhnya “kurang men-Solo”. Sebuah proses alami menuju nasion baru Indonesia.

Perjalanan dalam nasion juga  tecermin ketika pada 2004 dulu Sri Susuhunan Pakubuwono XII mangkat, dan teman-teman sejawat salah satu putri keraton di Jakarta datang melayat mencari “Mbak Koes”. Membingungkan bagi orang Solo, karena banyak putri dari almarhum yang bernama depan “Koes”. Di luar keraton dia hanyalah Mbak Koes, bukan Gusti.

Jawa baru juga terlihat dari jadwal acara bisnis yang padat, dari pameran komputer dengan gambar promosi berbau lokal sampai seminar cara cepat kaya dengan memanfaatkan internet. Tak perlu diajari, Solo itu sebetulnya kota niaga. Bahkan putri Solo pun memiliki stereotipe sebagai perempuan ulet dalam berbisnis.

Banyak pilihan untuk mencicipi Solo. Sejak warung wedangan murah-gayeng ala Kemin (lihat ini dan itu) sampai kafe/resto seperti umumnya kota besar.

Tapi saya mencicipi pengalaman menyenangkan di Soto Gading, warung yang sibuk sehingga membutuhkan walkie talkie. Di sana ada es jeruk dengan es batu silinder, bukan dari pecèlan es bongkah yang sering diprasangkai paginya sudah diseret-seret sepanjang trotoar kotor. Sungguh efisien: es jeruk sudah disiapkan dalam cooler box. Tinggal diciduk dan disajikan.

Lebih penting lagi ini: es jeruk tanpa penyedot plastik. Ini tak seperti kota lain, terutama Jakarta Raya, yang minuman encer dingin maupun hangatnya sering berbuluh plastik agar cairan melancangi bibir dan ujung lidah.

Solo adalah batik. Tapi Pekalongan juga kota batik. Keduanya memiliki industri dan pasar. Ya, saya tak bicara desain maupun unsur lainnya. Toh banyak orang tahu Solo bukan hanya keraton, batik tulis, keris, tari, karawitan, dan apapun yang sangat berbeda dari pesisir utara Jawa Tengah. Tentu, makanan Solo tak seterlalu-manis Yogya, kan? ;)

Memang sudah saatnya Solo mengemas sosok diri. Tak hanya agar dapat dibedakan dari Pekalongan oleh orang jauh, tetapi lebih penting supaya dapat dibedakan dari Yogyakarta. Solo bukan sekadar tetangga Yogya. Solo adalah Solo. Bukan tempat singgah bagi pelancong yang menghabiskan sewa kamar dan uang jajan di Yogya — kota yang akhirnya menyebut diri sebagai Jogja itu.

Di Solo, kota seluas 44,03 km² dengan 600.400 jiwa, kita melihat sebuah upaya menata ruang besar sebagai atmosfer untuk setiap orang. Walikota Joko Widodo, yang menjabat untuk kedua kalinya, tahu apa yang disebut paduan kepemimpinan dan keterpilihan melalui demokrasi sebagai sebuah amanat rakyat.

Bagaimana dia menangani pedagang kaki lima sudah menjadi cerita. Dia menggunakan kunci bernama pendekatan manusiawi dan partisipasi, tapi di sisi lain juga harus mencoba lincah bersama birokrasi yang tambun lamban. Terkabar dia pernah mengeluh, jumlah abdi kota terlalu banyak. Tentang alon-alon waton kelakon (pelan-pelan asalkan terlaksana), kita tahu, itu bukan monopoli Solo — apalagi jika menyangkut birokrasi. Tapi mau alon mau rikat, gedung tua tak terawat memang harus diperlakukan secara hati-hati.

Saya berharap Solo terus berubah menjadi baik. Sama seperti harapan saya bahwa Taman Balekambang akan semakin baik, tak seperti dulu yang dari bus antarkota tampak sebagai lahan terbengkalai penuh semak. Di sana saya lihat ada saja warga yang datang untuk duduk dan ngobrol, dan sesekali mereka didekati oleh rusa timor.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *