↻ Lama baca 2 menit ↬

“SAYA ADA KARENA DIPERLUKAN.”

Andaikan bajaj adalah benda berjiwa, pesan apa sajakah yang dia sampaikan? Saya mencoba menangkap pesan-pesannya. Gagal. Saya hanya dapat menafsirkannya, semau saya, sebisa saya. Itu serangkaian tafsir yang mengesampingkan manusia-manusia yang mengakrabinya: sopir, juragan, dan montir. Mereka adalah orang-orang yang paham matematikanya absurditas ekonomi rakyat dari setoran per hari sekitar Rp 40.000. Sebuah kisaran yang merupakan hasil kompromi.

Bajaj model lama, bermesin dua tak  (175 cc?) dengan bensin (campur), menampakkan sosok stereotipikal di luar warna dan suara knalpotnya. Yaitu setang kemudi. Setangguh-tangguhnya sopir bajaj, tangannya tetap pegal memainkan gas dan persneling. Untunglah manusia tak pernah menyerah. Selalu mencari solusi murah. Jika selangkangan kepanasan karena menduduki mesin maka sopir mengangkat kaki kiri. Mungkin androlog akan menjadikan sopir bajaj tahunan sebagai sampel riset kesuburan pria. ;)

Bajaj seperti kerak dalam lapis moda transportasi kota. Bahkan mirip paria. Diemohi, bahkan tak diakui dalam buku besar, tetapi tetap dibutuhkan oleh pasarnya — antara lain karena keapabolehbuatan. Lampu bajaj yang jarang menyala dalam gelap malam, serta lampu sein yang tak berkedip saat berbelok,  seolah meledek formalisme kita: yang penting ada, soal berfungsi itu masalah lain. Tak beda dari organ birokratis kita, juga badan-badan politik kita. Jika jalanan adalah potret sosial kita maka bajaj adalah bagian darinya.

Pada bajaj kita menyaksikan semangat hidup, semangat untuk bertahan. Pada tingkat minimum, bertahan adalah bentuk perjuangan. Bertahan, bukan menyerang. Jika perilaku bajaj, tepatnya sopir bajaj, di jalanan adalah sebuah agresi, maka kita tetap bisa mempertanyakan hal yang sama kepada sepeda motor dan mobil tentang nafsu untuk menguasai ruang dan meniadakan pengguna lain di jalan.

Bertahannya bajaj adalah sebuah kepatuhan formal, yang jika kita mau jujur juga melakti kita bahkan pengusaha besar: ikuti saja aturan daripada ribet.  Per enam bulan bajaj harus membayar Rp 20.000 untuk izin usaha, Rp 110.000 untuk kir (pemeriksaan layak jalan), dan Rp 8.000 untuk pajak operasi. Penggunaan dwibahasa, Indonesia dan Inggris, pada semprotan kir tak ada hubungannya dengan biaya. :D

Tidak, tulisan ini tak membabi buta membela bajaj atas nama romantisisme. Bajaj memang tak layak dari beberapa segi. Tapi bajak tak mungkin dimusnahkan begitu saja, dengan ganti rugi sekitar Rp 5 juta (padahal harga operan kondisi bagus konon bisa di atas Rp15 juta), kalau penataan sistem transportasi kota tak menampilkan rencana yang matang dan bisa diterima semua akal sehat. Kurang matang, kurang sesuai akal sehat, hasilnya adalah busway yang lengang pada koridor tertentu dengan halte yang mulai rusak.

Tapi ah sudahlah, itu perkara besar. Rumit. Membingungkan. Pada bajaj urusannya adalah bagaimana rezeki hari demi hari bisa terkais. Untuk itu diperlukan perawatan semangat.  “Allah Maha Besar,”  kata stiker pada pintu bajaj. Pintu dengan pegangan berupa potongan pipa tegak yang merupakan salah satu komponen bajaj yang tak berdebu dan tak berlumpur karena sering dipegang oleh tangan manusia. Tangan penumpang dan tangan sopir (terutama saat membuka dan menutupkan pada awal dan akhir perjalanan).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *