↻ Lama baca 2 menit ↬

MENGUNDANG TAKJUB, IRI, GEMAS. INI MOMENTUM.

Kasus korupsi menarik jika menyangkut angka besar, wanita cantik, dan kehidupan berkilau. Kasus Gayus Tambunan menambahkan satu syarat: keajaiban seseorang yang tergolong biasa, cuma pegawai negeri golongan IIIA dengan masa kerja sekitar lima tahun.

Itulah yang saya tangkap dari obrolan kanan-kiri-depan-belakang, pokoknya Dolby Surround. Di mana-mana ngomongin Gayus. Bahkan kemarin, menjelang tengah malam, sepulang dari warung pinggir kali, saya dipersilakan mampir ke gardu ronda. Ada batang talas goreng, wedang jahe, dan kepulan Gayus.

Cara media memberitakan Gayus pun bernada sama. Tentang kerakusan seorang pegawai yang bukan kerani, beserta lompatan jauh dalam kehidupannya, dari rumah reyot di kampung kumuh ke gedung mentereng di Kelapa Gading.

Jika korupsinya menyangkut petinggi — menteri, jenderal, direktur utama BUMN — masyarakat kurang tergetar. Hanya membicarakannya sepintas, dan perihal angka mudah dilupakan.

Tapi ketika angkanya (sejauh ini) sekitar Rp 27 milar, dari seorang pegawai bergaji bulanan Rp 12 juta, itu tak hanya mengundang takjub. Dalam kasus Gayus ada juga semacam iri. Oh bukan iri maupun dengki, tapi apa ya… semacam rasa tak bisa menerima.

“Dik, saya ini dari hari pertama kerja sampe mau pensiun, misalnya mau nakal-nakalan, ndak bisa ngumpulin duit sebanyak Gayus,” kata seorang pegawai BUMN kepada saya.

Pasal magnitude dalam kelayakan berita Gayus memang tinggi. Begitu pula unsur dramatisnya. Ini yang menggerakkan sentimen negatif khalayak.

“Kalo liat di pasfoto sih culun banget. Tapi ngeliat di TV waktu dia sampe di bandara, woahhh nyebelin banget tampangnya. Itu anak sudah keliatan melek duit,” kata seorang bapak, bekas pegawai yang kemudian berwiraswasta.

Baiklah, itu opini. Saya tak meminta argumentasi dari pendapatnya. Biar saja. Tafsir terhadap penampilan seseorang yang sedang terpuruk maupun melambung memang bisa bermacam-macam. Blog ini pun mungkin ikut menganiaya dia secara opinionatif  karena mengabaikan asas praduga tak bersalah.

Faktor tambahan penguat obrolan adalah bidang kerja Gayus: pajak. Dan kita tahu, pajak sedang aktual karena bulan lalu orang sedang dikejar tenggat pelaporan pajak pribadi — sebagian besar untuk pertama kalinya.

Tak perlu saya perpanjang aneka rempah obrolan maupun serapah. Pemeriksaan masih berlangsung. Merembet ke sekeliling pula.

Tapi saya mendapatkan satu kesan kuat dari sejumlah arena obrolan: rasa gemas yang panas. Mereka ingin soal ini diusut tuntas tas-tas-tas…

Pemberantasan korupsi butuh waktu. Tak cukup dalam lima tahun beres. Namun ada satu hal yang mestinya tak disia-siakan oleh siapa pun yang berkehendak politik mulia: jangan sia-siakan kepercayaan dan harapan masyarakat.

Kalau itu terlewat maka hasilnya adalah apatisme lagi. Padahal apatisme adalah stadion pelingkup lapangan hijau para koruptor.

Saat merawat kepercayaan dan harapan, masyarakat harus disadarkan bahwa korupsi hanya menghasilkan ekonomi berbiaya tinggi, sekaligus menghina rasa keadilan dan fairness karena anak curang dimanja tapi anak manis malah celaka. Jika dibiarkan maka etos kerja dan kompetisi sehat, sebagai bagian dari syarat kemajuan, pun masuk ke got.

Sayang, hati dan akal sehat saya seringkali tak bersua. Malah kadang optimisme dan ilusi pun bertumpang tindih. Kalau Anda?

© Ilustrasi: sumber foto asli Yuniadhi Agung/Kompas; diolah oleh Antyo Rentjoko

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *