↻ Lama baca 2 menit ↬

THE CITY NEVER SLEEPS…

Rokok memang berbahaya bagi kesehatan. Tapi kota tanpa rombong rokok yang buka malam hari akan membuat jalan semakin sepi. Rombong-rombong itu juga menjual permen, minuman, amplop, obat flu, koyo, obat nyamuk bakar, dan bahkan pulsa.

Tanpa menjadi perokok, ada alasan bagi kita menukar lembaran uang bernominal gede menjadi pecahan. Yaitu dengan membeli barang yang murah. Rombong malam hari adalah penjaga jalan.

Rombong terang seperti pemancing laron. Taksi dan tukang ojek bisa berkumpul di sana. Apalagi jika rombong sediakan TV untuk menonton sepakbola, seperti dinihari tadi. Penunggu angkutan umum juga merasa agak nyaman di sana bila dibandingkan berdiri di kegelapan. Oh ya, cobalah mencari tahu dari mana mereka mendapatkan listrik.

Selain rombong rokok, penjaga malam jalan adalah warung makan kaki lima. Setelah itu makin banyak penjaga malamnya, dari minimarket 24 jam sampai kios bunga 24 jam.

Begadang, jangan begadang, kalau tiada artinya. Pesan mulia Rhoma Irama kala masih menjadi Oma Irama itu benar. Kalau ada artinya tentu jangan dibilang jangan. Siang hari tanpa melakukan hal berarti, itu juga kurang benar kan, Bang Haji?

Saya tadi mendapati banyak hal dalam penyusuran 300 meter (menurut peta BlackBerry) dari Rumah Langsat ke warung gule Mayestik, Jakarta Selatan. Masih ada kehidupan. Anak-anak Holden di Circle K Jalan Ahmad Dahlan. Perangkai karangan bunga di dekatnya. Sejumlah rombong rokok yang TV-nya menyala.

Ada pula beberapa pekerja pemasang papan nama di kantor baru WannaBe. Seperti umumnya pengganti gambar bilbor, mereka biasanya bekerja malam hari. Selain tak mengganggu parkir dan lalu lintas, bekerja malam hari bagi mereka mungkin seperti menjadi Bandung Bondowoso: membuat yang kemarin belum ada lalu esok paginya tiba-tiba sudah hadir.

Selalu ada rombong rokok dalam lintasan kehidupan malam. Mereka ada di pasar perkulakan dapur yang buka tengah malam hingga pagi sampai kawasan bisnis dan hiburan malam seperti di Jakarta Kota.

Saya belum tahu apakah pengganti rombong-rombong itu setelah kelak kebiasaan merokok punah, atau dipunahkan. Kurang ekonomis jika rombong hanya menjual permen.

Khusus untuk kawasan Kota mungkin tak masalah. Pada salah satu ruas Jalan Gajah Mada ada deretan rombong penjual afrodisiak, kondom, dan sex toys kecil. Jarak antar-rombong bisa kurang dari sepuluh meter. Itu pun masih berselang-seling dengan rombong DVD dewasa. Semuanya terang-terangan. Blak-blakan.

Tak semua kegiatan ekonomis harus berlangsung siang. Tak harus hanya berlangsung malam karena perbedaan waktu dengan mitra kerja di belahan lain bumi. Bagi saya kegiatan malam di luar, yang tak mengganggu tidur orang yang di dalam rumah, adalah baik. Itu membuat malam tertemani, bahkan juga bagi orang yang merasa normal karena bukan makhluk nokturnal.

Salah satu peneman malam, sekali lagi, adalah rombong rokok. Pelintas jalan, termasuk yang berkendara(an), tidak merasa sendirian meskipun tak berpapasan dengan siapa pun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *