↻ Lama baca < 1 menit ↬

Saya sering diledek tuwir,  jadul, bahkan aneh, karena menggunakan kosa kata serapan lama: kampiun (dari “champion”). Misalnya di sini. Padahal khazanah kita kian kaya jika selain mempergunakan kata “baru” (bahkan menambahnya) kita juga masih memelihara kata-kata lama. Tentang toko di Mayestik, Jakarta Selatan, ini beberapa orang masih menyebutnya “Champion Photo”.

Saya tak tahu apakah nama  Foto Kampiun  ini akibat paksaan pemerintah untuk “mengindonesiakan” nama dagang lokal yang “asing” atau memang asli Kampiun sejak awal. Pada 1995, atas nama “nasionalisme” dalam rangka 50 Tahun Indonesia Merdeka, pemerintah meminta “indonesianisasi” nama-nama dagang, termasuk nama apartemen dan mal. Itu suatu hal yang tak saya pahami. Bukankah nama “Indonesia” pun asing, dalam arti bukan berasal dari salah satu bahasa kesukuan?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *