↻ Lama baca 2 menit ↬

DARI HATI YANG TERDALAM UNTUK ORANG-ORANG YANG TAK KUNJUNG PAHAM.

Saudara-saudara, dari hati yang terdalam saya ingin menyatakan bahwa sesungguhnya saya amat prihatin dengan keadaan ini. Perkembangan masalah sudah keluar dari jalur, bahkan mengarah pada character assassination, sehingga pidato lengkap saya diringkas menjadi empat karakter: cuih. Tepatnya lima karakter bila ditambahi tanda pagar.

Pagar, Saudara-saudara. Pa-gar. Itulah batas langkah kita. Pagar adalah batas wilayah maslahat dan mudarat. Di wilayah yang di balik pagar itu, ada sebuah lorong panjang beratap. Itulah koridor menuju bangunan besar. Saya selalu menempuh koridor itu karena semua rambunya telah jelas bagi saya. Maka dengan tulus dan penuh rendah hati saya mengharap agar jangan paksa saya keluar dari koridor itu.

Saya bukanlah penghibur yang berkewajiban menyenangkan sebanyak-banyaknya orang, sebesar-besarnya khalayak ramai maupun sepi, lalu mengorbankan orang-orang yang dengan segala kekurangannya telah membantu saya. Tidak, Saudara-saudara. Jangan paksa saya lakukan itu.

Dalam sanubari saya ada satu hal yang saya pegang teguh bahwa keselarasan dalam kebersamaan adalah segalanya. Janganlah hendaknya tata dikorbankan meskipun tujuannya mulia, bahkan misalkan pun sesuai dengan impian dan keyakinan saya. Tata tentrem adalah segalanya bagi saya.

Dengan segala kewenangan saya, apalagi didukung oleh rakyat — tapi maaf saja rakyat kadang bisa menjadi sekumpulan besar serigala — dapat saja saya melakukan sejumlah langkah tegas dan pasti.

Dengan posisi saya sekarang ini, apalagi dengan restu segenap rakyat, dapat saja saya menerabas paugeran, mengabaikan semua rambu yang kita susun bersama, agar orang-orang tertentu mendapatkan ganjaran atas perilakunya.

Saya bisa. Saya mampu. Apalagi jika dan hanya jika kita bersama. Tetapi saya tidak menginginkan, katakanlah, perbenturan besar yang merugikan kita semua padahal kehidupan masih harus kita jalani dengan tenang. Jadi, itu bukan karena saya tersandera oleh rambu yang penerapannya, bahkan penyusunannya, bergantung pada pihak lain. Bukan karena itu. Juga bukan karena saya takut, tiada bernyali, apalagi pengecut. Bukan.

Saya percaya bahwa orang-orang yang saya percayai dapat menerima amanat saya dengan penuh kedewasaan meskipun tidak saya nyatakan secara tegas di depan umum. Kalaupun mereka tidak dapat menangkap isyarat, tentulah itu bukan kesalahan saya. Mereka bukanlah anak kecil. Jika mereka tak melakukan apa yang saya harapkan, maka tidak pada tempatnya jika Saudara-saudara menagihkan penggenapannya kepada saya. Ini hanyalah soal pembagian tanggung jawab saja.

Kepada Saudara-saudara saya juga amat sangat dengan hormat mengharapkan agar lebih dewasa dan bijak dalam mencerna pokok pikiran saya. Manakala Saudara-saudara menuntut saya menyatakan hal penting secara ringkas dan tegas maka itu, mohon maaf, sama saja dengan menyederhanakan persoalan.

Ketika kalimat diringkas, yang terjadi adalah pendangkalan makna. Nuansa terpinggirkan, peta persoalan kurang terpahami, sehingga masalah hanya dilihat secara hitam dan putih.

Marilah kita kembali bekerja. Buang jauh-jauh pikiran sesat dan niat busuk. Mari kita jaga kebersamaan. Percayalah Saudara-saudara, bahwa dengan niat baik dan kehendak tulus, disertai kerja sama dan tenggang rasa, maka kita akan dapat mencapai tujuan bersama, yakni kehidupan yang berkeadaban, menyenangkan, membahagiakan, adil, makmur, sentosa, sejahtera, keren, pokoknya oke banget gitu lho. Percaya deh! Bener. Asli. Situ mau apa? Cuih!*)

Salam,
Paman Kikuk
(bukan saudaranya Paman yang punya blog ini)

*) Cuih belum ada dalam kamus, tetapi “cih” ada dalam KBBI, dengan penjelasan arti:
cih p kata seru menyatakan tidak suka, mengejek, dsb: — pembohong, tidak bermalu“. Adapun menurut Bahtera, penjelasan “cih” dalam bahasa Inggris serupa “exclamation of scorn, disgust, disapproval“.

Maaf jika saya seperti bercongkak diri dalam soal bahasa. Jangan menghina, meski saya dibesarkan dalam korps yang menyukai perkelahian, bahkan bersekolah khusus dan dibayar untuk itu, saya selalu mencoba cermat dalam berbahasa — dengan maupun tanpa teks. Terima kasih. Paman Kikuk.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *