↻ Lama baca 3 menit ↬

BAHASA ADALAH ALAT KEKUASAAN. TAK HANYA BAGI NEGARA…

Sudah empat hari permintaan Kapolri dicanangkan agar masyarakat, terutama media, tak menggunakan “cicak lawan buaya”. Lihat, adakah hasilnya?

Memang Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri, kapolri itu, sudah meminta maaf soal penggunaan istilah “cicak lawan buaya” yang dilansir oleh anak buahnya. Kita hargai permintaan maaf itu, meskipun telat, itu pun disampaikan melalui Menkominfo Tifatul Sembiring. Mestinya sejak awal itu terucapkan, Pak Kumendan Teratas langsung meminta maaf.

Akhirnya kata-kata menjadi bumerang. Masyarakat meresponnya. Kalimat yang dilontarkan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Polri Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji,”Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya“, akhirnya diringkas. Cicak lawan buaya. Cicak versus buaya.

Pak Pulisi mengucapkan cicak, baru kemudian buaya. Bukan “buaya lawan cicak”. Jika merujuk rasa bahasa dan kelaziman, memang lebih enak si kecil melawan si besar. Daud lawan Goliath. Kalau si besar itu lebih cocok menindas, bukan melawan. Apa boleh bikin, bahasa kadang memang menggelikan.

Soal berikutnya lebih menarik. Barusan saya cari di Google “kapolri larang cicak dan buaya”. Dalam 0,03 detik didapat “sekitar sekitar 11.500 telusur”. Padahal setahu saya kapolri tidak melarang, tetapi meminta.

Secara esensial itu berbeda. Tapi yang ditangkap masyarakat, apalagi ditambahi trauma tentang kontrol pemerintah terhadap media oleh Orde Baru, permintaan penguasa adalah larangan — terlepas dari wilayah kewenangan si pejabat itu pas atau tidak.

Selain sebagai alat kesadaran, bahasa juga alat kekuasaan. Kekuasaan tak hanya ada pada negara dan pemerintah tetapi juga rakyat. Penamaan terhadap sesuatu mencerminkan cara pandang terhadap sesuatu. Dalam hal ini elemen rakyat menyukai “cicak lawan buaya” justru dengan meminjam lontaran dari seorang petinggi penegakan hukum.

Penyederhanaan kalimat adalah cara untuk mempermudah penyampaian pesan. Bahwa di dalamnya juga bisa terjadi penyederhanaan masalah, bahkan pelencengan makna, itu adalah konsekuensi. Dalam kasus yang aktual ini, persoalannya (hanya) membela KPK dan kedua komisionernya, atau membela spirit untuk memberantas korupsi?

Penyederhanaan makna juga bisa berlangsung antarelemen masyarakat. Ketika terjadi pro-kontra RUU (Anti)Pornografi tempo hari, terasa penggiringan opini oleh yang pro-RUU bahwa yang menolak RUU sama saja dengan pro-percabulan.

Memanfaatkan bahasa memang kecenderungan semua orang. Termasuk bloggers. Semuanya, jika dilakukan dengan sadar, mencerminkan sebuah pola pikir. Contohnya saya, yang lebih senang menggunakan istilah “situs dewasa” daripada “situs porno”. :D :P

Karena bahasa adalah alat kesadaran dan sekaligus alat kekuasaan untuk memengaruhi pemahaman orang, maka kita punya rekaman jejak masa lalu dalam pelabelan. Yang terkenal tentu saja “G30S/PKI” — sebuah kode sekaligus mantera, sehingga menjadi brand karena memengaruhi pola pikir sebagian rakyat. Istilah “Gestok” kurang laku (ini menyangkut tanggal!). Sedangkan istilah “Gestapu”, pada masa ketika Perang Dunia II baru tertinggalkan dua dasawarsa, jelas mengingatkan kepada Gestapo.

Begitu pula dengan “Manikebu” yang punya efek disleksis “mani beku”. Saya tak tahu apakah pada awal 60-an inseminasi buatan sudah dikenal. Saya menduga, perbincangan awam tentang kesehatan reproduksi pria waktu itu hanya mengenal “mani encer” dan mungkin “mani kental” (tapi kok jarang dengar ya?). Bagi awam, semen (bukan sperma) yang encer diidentikan dengan ketidaksuburan dan ketidakdigdayaan andrologis. Yang beku? Kalaupun sudah ada itu mungkin menyimbolkan sebuah peran konservatif. Begitu pula penamaan “PNI Asu” untuk duet Ali Sastroamidjojo dan Surachman. Asu adalah anjing. Sudah biasa jika sebagian orang menggunakan nama negatif untuk mengerdilkan bahkan menihilkan pihak “lawan”.

Kembali ke soal penguasa. Dulu pemerintah melarang media menggunakan OPM dan GAM — harus GPK (Gerakan Pengacau Keamanan). Menyebut OPM dan GAM berarti mengakui perjuangan orang Papua dan Aceh. Padahal soal nama, itu pun membutuhkan bukti siapa yang menamai. Bukankah ada Atjeh Sumatra National Liberation Front?

Contoh lain? Menjelang dan setelah Peristiwa 27 Juli 1996, beberapa petinggi militer “mengimbau” media agar nama Megawati Soekarnoputri diganti Megawati Taufiq Kiemas — mungkin merujuk pada tanda tangan Megawati sekaligus untuk mengerdilkannya dari bayang-bayang Soekarno di mata rakyat.

Sepanjang hidupnya manusia juga bertempur menggunakan bahasa. Bukankah dalam cekcok ada saja kata “Kamu itu sukanya…” atau “Kamu selalu…” — tanpa bukti statistik? :D Demikian pula saat meninggikan diri dengan membanggakan sesuatu. Misalnya, “Saya sudah sering ke…” — padahal baru tiga kali. Secara statistik benar sih, tiga kali dari tiga kunjungan berarti seratus persen.

© Ilustrasi: funnycoolstaf

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *