Apakah Kita Paham Tetangga?

▒ Lama baca < 1 menit

KENAL TAK BAWA MANFAAT. TAK KENAL juga TAK RUGI (?)

“Dik, Jalan Adem Ayem tiga (romawi) di mana?”

“Nggak tau, Oom.”

“Masa sih. Ini kan Jalan Adem Ayem Raya?”

“Saya nggak pernah lewat Jalan Adem Ayem… berapa tadi, Oom?”

“Oh ya sudah. Kalo Er-Te tiga belas di mana?”

“Apalagi Er-Te, Oom. Sini ikut Er-Te berapa aja saya nggak tau.”

“Rumah adik di mana?”

“Ini. Saya panggilin papa saya aja ya,” (menunjuk ke arah belakang punggungnya, sambil duduk di atas sadel sepeda).

Bayangkan jika penanya adalah Anda. Masih untung jika anak itu nggak nanya, “Oom bawa GPS nggak? Tadi sebelum ke sini ngeliat Google Maps nggak?”

Ini posting riwil, cemen, nggak penting. Tapi sebetulnya saya mengajak Anda semua becermin supaya bukan cuma saya saja yang becermin. Kesimpulan sementara, jika menyangkut saya, memalukan juga. Saya tak paham neighbourhood saya dengan baik. Akibatnya anak-anak saya pun begitu.

Barusan saya menguji anak sulung saya, apakah dia tahu siapa itu Pak Anu dan Pak Itu. Dia menggeleng. Kalaupun dia tahu Pak Ini, belum tentu dia tahu dia bekerja di mana. Kesemuanya adalah tetangga kanan-kiri saya. Malah anak-anak saya hanya tahu Mbak Sana dan Mbak Sini tapi tak tahu nama orangtua mereka.

“Saya bukan ketua RT, buat apa reseh mau tahu?” kata Anda. Baiklah. Saya juga bukan ketua RT.

“Emang saya anggota militer zaman Orba, harus tahu siapa saja tetangga saya dalam radius seratus meter?” sergah sebelah Anda. Baiklah. Saya juga bukan serdadu.

“Kami ini begitu pulang kerja udah capek. Anak-anak pulang sekolah dan les juga capek. Mau keluar males. Mendingan ke mal sekalian. Lagian rumah-rumah sekitar juga gitu kok. Habis magrib sudah ketutup rapet rumahnya,” kata Anda dan pasangan. Baiklah. Mari bersalaman. Terus, kalau mau bertandang, emang ada topik yang bisa dibicarakan?

Tak usah di Jakarta dan sekitarnya. Di Yogya pun dapat dimaklumi jika mahasiswa yang sudah tahunan indekos di sebuah rumah tak kenal kanan-kirinya. Yang penting bagi mereka adalah manakah warung terdekat.

Bagaimanakah induk semangnya? Saya pernah jadi keluarga induk semang, tetapi punya perasaan sebagai anak kos. Jadinya ya nggak kenal sekitar.

Ada seorang teman, blogger juga, tinggal di Pondok Indah, Jakarta. Sebagai warga baru, dia bawa kebiasaan yang menurutnya “namanya juga wong ndeso“. Maka dia pun pada hari-hari awal ingin memperkenalkan diri kepada sekitar. Ternyata sulit. Puncak kekikukan terjadi ketika dia melayat ke rumah tetangga yang belum dikenalnya. Dia dan keluarga rumah duka sama-sama kikuknya.

Tinggalkan Balasan