↻ Lama baca 2 menit ↬

SEBUAH CARA MANUAL, WARISAN BERABAD-ABAD.

notes baru yang nganggur

Saya ambil kedua notes yang belum saya pakai itu dari laci. Beberapa notes lainnya, yang masih nganggur, sudah saya hibahkan. Ternyata saya jarang memakai notes lagi. Saya jarang menorehkan tulisan tangan sehingga tulisan saya makin buruk, apalagi usia terus bertambah.

Notes di era digital device ini. Ya, notes yang dilafalkan secara Indonesia: “no-tes”. Anda masih memakainya? Sekadar mencatat dari yang penting sampai tak jelas itu apa, sekedar menggambar denah lokasi sampai membuat gambar yang Anda sendiri tak paham?

Saya semakin jarang memakai notes. Bahkan pengumuman di papan tulis sekolah anak saya pun saya foto supaya saya tak mencatatnya. Poin penting pertemuan orangtua murid dan guru saya catat di BB, kemudian saya kirim ke FB anak saya.

kuliah di fisipol UGM, beli di Siswa Muda

Masih tentang notes yang tadi, di laci yang lain saya temukan dua notes tua ketika saya masih kuliah. Notes penampung apa saja: ada yang jelas terbaca, ada yang sulit saya baca. Ada pula gambar yang jelas tapi saya lupa kenapa saya buat itu.

belum ada blog: nggerundel di notes

Tentu saya masih ingat coretan yang saya bikin karena bosan menunggu pelayanan birokrasi, tapi saya lupa itu di kantor apa.

Menggambar di notes

Ada gambar yang membuat saya takjub terhadap masa lalu. Beberapa gambar biasa, permainan optikal, yang muncul di banyak tempat (waktu itu belum ada halaman web), tapi dapat saya gambar ulang, dan itu mengingatkan saya kepada Shigeo Fukuda yang karyanya dipamerkan dalam pameran grafis Jepang di University Center, Bulaksumur (seingat saya, sih). Ingatan fotografis yang lumayan, karena saya masih muda, likuran tahun yang lalu.

tipuan optikal dalam notes

Kedua notes tua itu dulunya punya kawan pendahulu yang sama ukurannya, bahkan sama desainnya. Berjilid ring, dengan sampul art carton yang kalau tidak bermotif kotak-kotak ya kembang-kembang. Notes yang seingat saya murah, bikinan Shanghai, RRC, tapi tak semua toko menjualnya, kecuali di Toko Siswa Muda, Jalan Urip Sumoharjo (Jalan Solo), Yogyakarta.

Salah satu notes memuat belasan judul buku berikut kodenya. Saya menyalin dari katalog sebuah perpustakaan untuk kemudian meminta pinjam kepada petugas — hanya boleh dibaca di tempat.

Daftar pustaka dalam notes

Saya lupa itu di perpustakaan mana, tapi yang jelas bukan perpustakaan fakultas karena kartu saya selama kuliah lebih sering kosong akibat saya jarang meminjam buku. Saya mahasiswa pemalas. Jarang baca. Kurang tekun. Bukan kutu buku. Mungkin karena itulah saya tidak tamat. Beda dengan teman yang lebih muda, misalnya R.M. Wicaksono, aktivis pers mahasiswa (dan lelananging kampus), yang selain bijak juga cerdas sehingga layak lulus. :P

Tapi judul-judul itu, tentang public housing dan urban development, tak ada dalam daftar mata kuliah jurusan saya. Juga buku arsitektur, buku grafis, kenapa saya dulu membacanya? Mungkin saya salah pilih sekolah. Ah, tidak juga, buktinya saya tak ingat lagi apa yang saya baca dari buku non-mata-kuliah saya itu. Minat saya dulu rasanya terlalu luas, tapi saya pembosan, mudah berganti “pelajaran”. Saya tidak pernah terfokus. Dan saya selalu merasa salah sekolah, bahkan salah dosen. :D

Notes lama membuat saya tersenyum sekaligus menggali ingatan. Termasuk ketika mendapati paraf saya yang sempat bertahan hingga awal saya bekerja. Paraf berupa burung. Ada juga yang berupa ikan. Semuanya dalam satu tarikan garis tanpa mengangkat pensil — konon, inilah ciri pemalas. Saya tak tahu kenapa dulu suka menggambar burung dan ikan sejak kecil, bukan naga atau harimau atau zebra atau kodok.

Kembali ke judul. Anda masih memakai notes? Untuk apa? Berapa bulan sekali berganti notes baru?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *