↻ Lama baca 2 menit ↬

KALAU SAJA INI BISA LEBIH DISERIUSI.

Pagi yang gelap pekan lalu, karena Matahari masih di utara, sekitar pukul lima seperempat, seruas jalan di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, macet. Biasa, karena mobil-mobil menurunkan anak sekolah. Sepagi itu orangtua (atau sopir) sudah terpaksa mengantar anak-anak ke sekolahnya.

Ketika hari mulai terang, kemacetan pun berganti wajah. Lalu lintas tersendat karena siswa yang membawa mobil harus menata mobilnya secara on-street parking. Ya di depan sekolah, ya di jalanan sekitar sekolah, termasuk jalan kecil depan markas dagdigdug.com.

Saya tak tahu kenapa sekolah favorit negeri ini tak bisa setegas sekolah lain yang melarang murid membawa mobil. Sebuah SMA swasta di Jakarta Pusat selalu mengingatkan orangtua pada awal tahun ajaran baru bahwa anak mereka dilarang membawa mobil karena dua alasan. Pertama: kapasitas pelataran parkir di sekolah sangat terbatas. Kedua: membolehkan murid membawa mobil berarti memacetkan jalanan di sekitar sekolah, artinya secara sosial itu merugikan.

Saya pernah mendengar seseorang berkata, “Sekolah-sekolah itu kayaknya bangga kalo murid-muridnya pada bawa mobil, bagus-bagus lagi, tanpa peduli bahwa itu bikin macet.” Entahah siapa yang dia maksudkan, apakah kepala sekolah, gurunya, ataukah muridnya — atau semuanya? Walah, masa sih sampai bangga? Bukannya malu? Aneh kalau pakai alasan ala blogger Yogyakarta: “Lha wong mampu kok!” :D

Sebagai pendidik, para guru mungkin tahu bahwa mobil pribadi siswa itu bikin sesak — apalagi ada mobil yang hanya berisi satu anak. Tetapi sebagai bagian dari warga Jabodatabek yang mati akal, mereka akhirnya membiarkan saja, menutup mata terhadap semua masalah, karena mereka pikir tugasnya hanya mengajar (dan mendidik), bukan menanamkan etika sosial.

Adakah solusinya? Beberapa hari ini, setiap pagi saya selalu beriringan dengan sebuah bus sekolah. tak penuh penumpangnya. Entah kenapa. Sesampainya di perempatan CSW, Kebayoran Baru, bus itu sudah kosong. Padahal di sebuah halte Jalan M.T. Haryono, Jakarta Timur, saya lihat bus itu menepi. Mungkin menambah penumpang — selain menurunkan juga.

Dua tahun lalu, sebelum armada bus sekolah sempat beristirahat, anak saya bercerita bahwa menunggu busnya lama, lagi pula sering penuh.

Bus sekolah bagi saya adalah bagian dari solusi. Apalagi bulan ini Pemprov DKI menyatakan akan menambah sepuluh unit bus. Semakin banyak anak terangkut garis semakin baik. Lagi pula bukankah alasan pemajuan jam masuk sekolah ke pukul 06.30 itu untuk mengurangi kemacetan? Jika mobil pengantar maupun mobil pribadi yang dibawa siswa berkurang, tentulah lalu lintas lebih lancar.

Saya sadar, di tingkat para pengguna ini bukan soal mudah. Harus ada feeder untuk anak yang rumahnya jauh dari titik pemberangkatan. Siapa yang mengantar di pagi buta? Bagi orangtua mungkin lebih baik antarkan sekalian saja ke sekolahnya kalau ada motor atau mobil.

Dan jika bicara pengguna, kita harus realistis bahwa Jakarta ini menyatu dengan wilayah tetangga. Yang mondar-mandir bukan hanya para pekerja tetapi juga anak sekolah (dan mahasiswa). Itulah sebabnya pada hari libur panjang jalanan lebih lancar terutama di wilayah persekolahan dan pinggir(an) kota.

Artinya, armada bus sekolah mestinya melibatkan tetangga DKI. Untuk urusan sampah saja DKI bisa bekerja sama (atau memaksa?) tetangganya, apalagi untuk urusan anak sekolah.

Siapakah yang membiayai? Tentu para pembayar pajak di semua wilayah. Soal porsi kontribusi, biarlah legislatif dan eksekutif yang berembuk.

Semoga tak ada lagi pernyataan seperti ini di Berita Jakarta, medianya Pemprov DKI:

Sementara itu, menurut Arkeno, anggota Komis D DPRD DKI Jakarta, mengatakan, mengingat kondisi lalu lintas di Jakarta yang tingkat kemacetannya begitu tinggi, maka dewan menyetujui upaya Dinas Perhubungan DKI Jakarta mengusulkan bus sekolah. Tapi sayang, saat ini realiasasinya tidak maksimal. “Kalau memang bus sekolah itu tidak bisa dioperasikan lagi, hendaknya armadanya dialihfungsikan untuk kepentingan lain,” katanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *