↻ Lama baca 2 menit ↬

DARI YANG OUT OF DATE SAMPAI JAMU VALIUM.

Lama saya tak minum jamu. Selama tahun 2009 ini mungkin baru sekarang — dan tak ada hubungannya dengan pilpres. Jamu yang saya maksudkan adalah jamu terkemas yang siap seduh. Tinggal menambahkan air mendidih. Apalagi ada paket jamu komplet segala.

Seperti biasa, istri saya tertawa kalau melihat saya minum jamu dari cangkir, saya seruput perlahan, bertahap, aduk lagi.

Jamu apa yang saya minum, obat kuat? Bukan. Jamu orang uzur? Begini, yang saya minum adalah jamu ndesit: untuk pegal linu. Saya mengenal jamu ini sejak kecil. Dulu kalau siangnya ikut pelajaran olahraga yang melelahkan, malamnya minum jamu ini. Ibu saya selalu membelikan.

Menurut ibu saya, waktu saya masih kecil, balita, saya pun mencicipi jamu brotowali yang pahit. Entahlah, sekarang saya mungkin tak doyan.

Ya, ya, ya, baiklah, jamu itu minuman kuno. Ada juga sih versi cairan dalam sachet, dan iklannya aneh: menghubungkan kebiasaan minum jamu dengan inteligensia. Maka muncullah pelesetannya, seperti kaos yang saya dapatkan dari penyair cergas Hasan Aspahani: “Orang Pintar Tolak Minum Angin“.

Jamu memang kuno. Majalah remaja cewek, setahu saya, jarang memuat iklan jamu. Padahal cewek zaman saya dulu oleh ibunya, atau neneknya, dibiasakan minum jamu. Ada yang seduh, dan ada pula yang berupa pil kecokelatan.

Jamu memang kuno. Kata “jamu” memang kuno. Tapi kata “herbs” dan “herbal” tidak dianggap ketinggalan zaman, sehingga ada rokok aneh yang menyebut diri “herbal”.

Tak apa, inilah aspek psikolinguistik dan sosiolinguistik dalam keseharian kita. Kata bukan hanya kata sebagaimana adanya. Menyebut berondong tentulah kampungan ketimbang popcorn, seperti menyebut peturasan dan bukan toilet. Pelaku komunikasi pemasaran sangat sadar itu — dan memang harus.

Orang bule masih mengenal lemonade, dan kita akan menganggap seseorang sedang melucu, atau memang jadul tulen, kalau bilang limun. Atas nama adab gaul kita menyaring kata, dengan akibat kosakata kita bukannya bertambah kaya tetapi malah menyedikit.

Ah terlalu jauh ngelantur. Lantas urusan jamu tadi bagaimana? Penjualnya, di sekitar rumah saya, makin sedikit. Beberapa warung jamu semakin menjadi spesialis, hanya buka malam hari, saat sopir angkot selesai setoran.

Dulu di kota-kota kecil (Jawa), warung jamu seperti warung kopi, menjadi tempat sosialisasi. Yang datang umumnya pria dewasa, ngobrol ngalor-ngidul, dari bal-balan sampai politik.

Zaman berubah. Tetapi industri farmasi masih menghasilkan herbal. Dan bahan mentah jamu punseduhan masih dijual, dalam kantong plastik, hanya saja kita tak tahu takaran yang pas itu seperti apa. Self medication menyimpan bahaya.

Lebih berbahaya lagi industri rumah tangga yang menghasilkan jamu aneh-aneh. Sekali ditertibkan muncul lagi. Misalnya yang di Cilacap itu. Ada yang dicampuri valium segala.

Dan kita tahu, sebagian jamu gendong (sekarang si mbakyu pakai motor) berbekal jamu produk industri rumahan yang aneh-aneh itu. Penjualnya lebih mengutamakan stok air panas dalam termos.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *