KELAK DIA AKAN LEBIH MENJADI.
Seumur itu saya belum mengunyah banyak teks. Bahkan sampai sekarang pun tak banyak teks yang saya cerna. Tetapi dia tidak. Dari cara menulis, dari mencuplik saat merujuk, saya segera tahu endapan di benaknya. Gumpalan kognisi dalam dirinya terus membesar. Anak muda itu. Yang lahir ketika saya masih kuliah.
Belum lama saya mengenalnya. Tetapi dari beberapa kali percakapan, termasuk di e-mail dan sesekali chat, lontaran saya selalu bersambut.
Lontaran saya tentang catatan lama seorang jenderal segera disambutnya — padahal saya tak tahu banyak tentang catatan itu.
Lontaran saya tentang dokumen sekitar revolusi langsung disahutnya seperti menyodorkan nukilan — padahal sejujurnya saya tak khatam dokumen itu.
Dia, di era digital ini (halah), seperti filolog yang menggauli kertas-kertas kecokelatan yang compang-camping. Memang sudah ada mesin pemindai yang bisa menelan teks, lalu muntahannya tinggal disunting. Tetapi salinan naskah lama, dari era revolusi, dia baca, dia ketik ulang, dan baca lagi, kemudian dia simpan.
Mungkin sebuah ketidakpraktisan, tetapi dari membaca dan mengetik ulang itu dia dengan sadar menenggelamkan diri ke dalam lautan gagasan dan pemikiran yang terkandung dalam teks. Lengkap dengan ejaan lamanya, lengkap dengan cara tutur zaman lama, lengkap dengan kualitas cetak-dan-jilid bukunya, lengkap dengan jejak tindasan karbon maupun celepret tinta stensil pada dokumen-dokumen lusuh itu. Sebisanya dia berupaya menyerap roh dan semangat zaman dari setiap kertas. Dia tak hanya bisa melafalkan “X” dalam Maklumat Wakil Presiden No. X tetapi juga berusaha memahami suasana yang nelatari kemunculan dekrit itu.
Melelahkan bagi saya — dan mungkin Anda. Tetapi bagi dia, selain melelahkan (karena dia toh manusia, yang juga doyan nasi dan air api) itu juga mengasyikkan. Sebuah kelana dalam belukar teks. Hasilnya dia bawa ke belantara teks yang kadang membingungkan: konten di internet.
Ketika itu hanya kesenangan, maka anggap saja klangenan. Tetapi ketika di dalamnya ada semangat berbagi, maka klangenan telah memiliki sisi mata uang lain yakni altruisme. Apa yang dia peroleh akan dia bagikan.
Sore tadi saya mendapatkan pengakuan yang baginya memalukan, tetapi tidak bagi saya, bahkan menurut saya itu mulia. Uang honor tak seberapa, yang didapatnya dari pekerjaan klangenen sekaligus altruistis itu ternyata dibagikannya untuk kedua orang lainnya…
Orang-orang yang menurutnya secara finansial perlu dibantu. Orang-orang yang juga mencoba banyak belajar. Orang-orang yang yang dia beri kesempatan untuk menyelami teks dari khazanah dalam kardus pustaka: membaca, menyalin, membaca lagi, dan bahkan membuat ringkasan dari sejumlah teks berat para pemikir yang benaknya tak kunjung penat.
Dia ingin kedua rekannya, yang lebih muda, menjalani laku seperti masa remajanya dulu: bergaul dengan dunia teks, dari sastra, sejarah, filsafat, sampai teks lama yang mungkin tak penting pada suatu saat tetapi akan tampak nilainya ketika semuanya terhubungkan.
Anak muda itu. Dia menjalani tanpa kesombongan. Dia lakukan seringan dia melangkah kala berkelana, dan mungkin sesantai dia mencecap Cointreau dan Smirnoff — atau Bols, atau Absolut.
Waktu, dan internet, akan semakin mematangkan dia. Dan internet? Inilah goda dunia ketika segala yang remeh bisa menyita waktu orang, karena sebagian orang merasa semakin kecapaian untuk menelan teks berupa aksara berlama-lama — tersebab teks juga muncul sebagai gambar dan suara yang tinggal cerna secara sambil lalu.
Internet pula yang akan menemukan lebih banyak lagi orang seperti dia.
© Ilustrasi: entah