Alat Penjajahan Bernama Penyeranta, Ponsel, Laptop, dan BlackBerry

▒ Lama baca 2 menit

TAK SEMUA ORANG MAU DIBERI FASILITAS. :)

Seperti biasa, desainer kartu nama itu menanya seorang anggota staf sebuah kantor media, apakah nomor ponselnya akan dicantumkan. Dan seperti biasa, yang ditanya pun menggeleng.

“Semua orang, kalau mau kontak saya, ya cukup pakai nomor kantor dan e-mail kantor. Kalau data pribadi harus masuk, bisa-bisa entar nomor faks rumah saya juga dicantumin,” katanya.

Kebiasaan si anggota staf itu berlangsung sejak pertengahan 90-an sampai awal 2000. Setelah itu dia oke-oke saja menampilkan nomor ponsel di kartu nama. Tepatnya: nomor dari ponsel kedua, yang dibelikan oleh kantor, dan pulsanya diongkosi oleh kantor.

Baginya, dulu, sungguh tak adil jika kantor diuntungkan oleh peralatan pribadi selaku karyawan. Pada 1995 dia membeli ponsel sendiri (padahal ponsel masih mewah), berlangganan internet sendiri (kantornya belum berinternet). Itu untuk urusan pribadi — dan, ehm…, moonlighting.

Dia bukan orang pelit. Hanya saja dia tak rela jika kantor mengeksploitasi dirinya. Maka meskipun memiliki mobil sendiri (SUV gres, beli tunai), dia selalu menggunakan mobil kantor dan taksi untuk dinas keluar. Mobil pribadi tetap diparkir karena bensinnya tak disubsidi oleh kantor. Hanya untuk pemotretan dia merelakan diri memakai kamera SLR pribadinya dengan beberapa lensanya.

Orang sirik bisa bilang, mentang-mentang dia punya duit, gaji cuma buat uang saku karena dia masih ikut orangtua, maka dia bisa mandiri. Tapi ah itu soal lain, kan?

Maka marilah kita lihat teman si tokoh, yang pada awal 90-an (belum zamannya selular genggam) cemberut ketika menerima pembagian radio pager (penyeranta). Sia-sia sudah upaya dia menyembunyikan nomor telepon indekosan supaya tak dapat dihubungi oleh sekretaris, kepala desk, maupun koordinator reportase. Penyeranta atau beeper menjadikan dirinya sebagai anjing Pavlov — tapi makna sinyalnya negatif. Bip-bip-bip berarti kantor, berarti pekerjaan, berarti deraan bahkan azab.

Sekarang kita melompat ke hari ini. Ada saja pegawai yang menolak kredit laptop dari kantor. Bahkan yang menolak dibelikan pun ada. Di sisi lain, para atasan di beberapa kantor blingsatan setelah tahu bahwa beberapa anggota staf meninggalkan laptop pembagian di kantor.*)

Kenapa? Jelas. Memegang alat kerja dari kantor berarti ada kewajiban untuk bekerja lebih — setidaknya pada saat tertentu. Bahwa di luar urusan pekerjaan laptop dan data card yang diongkosi kantor itu bisa buat urusan pribadi, bagi sebagian orang itu tidak sexy. Itu tetap penjajahan.

Hal serupa terjadi pada BlackBerry. Ada saja orang yang menolak pembagian, dari yang berupa peminjaman (berujung ke pemutihan atawa hibah) sampai yang langsung dimiliki, dengan biaya pemakaian ditanggung oleh kantor.

Salah seorang penolak fasilitas itu berdalih, “Pegang BlackBerry berarti harus cepat merespon e-mail dan messaging. Capek!”

Dunia kerja sudah berubah karena lalu lintas informasinya tinggi. Celakanya (kalau dianggap celaka), informasi dan pengambilan keputusan tidak bisa lagi dibatasi oleh tempat dan jam kerja. Maka beberapa pekerja bahkan eksekutif mencoba mengambil jarak dengan cara yang menurutnya proporsional.

Tentu, bagi orang lain itu bisa dinilai berlebihan. Motor dan mobil sudah disumbang (melalui pinjaman), bahkan rumah pun dibeli dari fasilitas kantor, masa sih masih “itungan banget” untuk pekerjaan?

Andalah yang menilainya. Mungkin kasus per kasus bergantung konteks. Namun izinkanlah saya memberi ilustrasi tentang seorang ibu di Bogor, manajer produksi cetak di Jakarta, yang dalam keadaan darurat siap ditelepon kapan pun, bahkan pukul tiga pagi.

Unit yang dibawahinya memang beroperasi 24 jam dengan tata gilir yang pasti. Namun yang namanya alat kerja bisa saja macet, termasuk di pihak klien. Mau tak mau jika ada kasus yang krusial, karena urusannya lintas sektor, maka pengambilan keputusan harus oleh manajer.

Tentang telepon masuk pukul tiga pagi, bagi ibu itu, “Ya konsekuensi kerjalah. Kalo anak-anak nggak bisa ngatasin padahal risikonya kelewat gede, ya itu urusanku. Kesian anak-anak itu udah kerja sampe pagi — emang sih karena shift. Setelah ambil keputusan di telepon aku kan bisa tidur lagi, lalu besok paginya di kantor ngecek lagi. Apa susahnya? Bahwa di job desc(ription) itu nggak ada, ya buatku nggak masalah.”

*) Demi rahasia perusahaan ada juga kantor yang melarang laptop dinas dibawa pulang.

© Gambar-gambar sumber ilustrasi sebelum montase: entah

Tinggalkan Balasan