… TAPI HANYA GURUKAH YANG MELUKAI JIWA ANAK?
“Oh ibu dan ayah selamat pagi. Ku pergi belajar…,” kata lagu lama. Dan sahutan pemeran orangtua dalam lagu yang sama adalah, “Jadilah kau murid bajingan!” Oh maaf, saya kasar? Apa boleh bikin.
Adakah guru yang bajingan? Saya teringat itu setelah membaca posting Haris Firdaus tentang kelakuan unik guru-gurunya.
Bagaimana dengan guru-guru saya? Secara umum baik. Guru-guru saya. Bukan mantan guru-guru saya. Saya tak pernah memantankan mereka, terutama guru yang baik.
Di antara yang baik itu kemarin saya lihat di Facebook karena fotonya diunggah oleh adik kelas. Saya terharu melihatnya. Dia guru yang memahami kekurangan dan kelebihan saya, bisa memahami dan sabar kenapa saya bisa mendapatkan nilai tiga atau empat, dan bisa mengerti kenapa saya bisa memetik sembilan dan sepuluh.
Dia tak pernah menempeleng murid. Dia tahu saya bosan di kelas sehingga membolehkan saya belajar sendiri di perpustakaan, bahkan saya dia izinkan meminjam sepedanya untuk membuang kejenuhan dalam kelas.
Dia tak malu ketika murid-muridnya yang masih SD tahu bahwa siang selepas mengajar dia berpanas-panas mengayuh sepeda berpalang yang digelendoti dua jeriken kaleng minyak tanah, menyusuri jalan menanjak dan menurun. Demi tambahan penghasilan.
Tak hanya dia seorang guru saya yang baik. Tak hanya seorang yang saya kenang. Ada hormat dan haru dalam diri saya hingga saya dewasa. Mengajar memang tugasnya, memang kewajibannya, tetapi saya merasa berutang kepada dia dan mereka yang baik. Juga hormat saya kepada Bu Muslimah di Laskar Pelangi.
Akan tetapi ada juga guru yang tidak budiman. Butuh waktu lama untuk menyembuhkan luka, untuk berdamai dengan hati.
Ada seorang guru yang suka melemparkan penghapus ke arah murid yang menurutnya nakal. Jika lemparan meleset, dia tak perlu minta maaf. Menurutnya itu salah si anak sasaran kenapa sampai menjadikan kawan di dekatnya sebagai korban lemparan. Saat itu, kelas dua SD, saya mendapatkan pedagogi bagaimana keadilan dijalankan dan bagaimana kekuasaan bisa disewenangkan.
Ada guru lain yang tak pernah mau menjawab petanyaan saya. Alasannya karena yang bertanya adalah saya. Dia menyuruh, bukan meminta, saya menanyai teman lain. Tugas yang saya kerjakan sering dianggap salah, tetapi hal sama yang dilakukan oleh teman lain dia tenggang.
Alasan dasarnya yang kemudian dia akui adalah karena dia tak menyukai saya. Selama setahun, kelas enam, saya diajari yang namanya apriori dan diskriminasi. Itulah pendidikan.
Ada pula guru lain di SMP yang semaunya kalau menilai gambar saya. Dia selalu diberi angka enam. Tapi lembar gambar beberapa teman, yang saya buatkan, selalu mendapatkan delapan.
Suatu kali gambar saya yang sudah dinilai saya titipkan ke teman, murid kesayangannya, untuk diajukan. Sudut lembar yang sudah ada angkanya dia tutupi. Gambar itu mendapatkan nilai delapan. Sudut yang tertutup ada angka enam. Itulah pendidikan. Dan guru itu, tanpa harus saya katakan dengan maaf, sama sekali tidak bisa menggambar dan tak tahu seni. Menyedihkan, tapi itulah pendidikan.
Ada lagi guru lain, sudah tua, yang selalu mengurangkan nilai dua dalam ulangan saya. Kalau mendapatkan empat, berarti sebetulnya enam. Beberapa kali lembar saya dinilai delapan. Maka saya pun mempersoalkan korting nilai itu kepadanya. Jawabannya tegas: “Karena kamu nakal!” Tak dihiraukannya sanggahan saya bahwa di rapor sudah tersedia isian nilai untuk perilaku dan kesopanan. Itulah pendidikan.
Terhadap guru satu itu, yang sudah tua itu, luka hati saya tak mendorongkan pikiran jahat seperti lamunan saya terhadap guru lain — terutama yang membenturkan kepala saya ke tembok (untung saya tak gegar otak). Lamunan jahat seorang bocah akil balik itu adalah merakit bom untuk dimasukkan ke saku baju kiri mereka sehingga baju itu hancur. Dalam kenaifan bocah saya sudah membayangkan jawaban pengelak nan cerdas: hanya inginkan baju itu hancur.
Karena saya tak tahu soal bom, maka yang pernah saya coba adalah menaburkan serbuk mercon di laci bangku kosong terdepan dekat meja guru. Saya bayangkan, ketika dia menyalakan rokok maka apinya akan besar dan dia akan berhenti merokok selamanya… Berhenti merokok. Berhenti mengajar. Saya memberikan pelajaran kepadanya.
Soal mercon ini tak ada yang tahu (mungkin hanya penjaga sekolah yang tahu) dan untung tak terjadi hal buruk. Baru sekarang saya akui. Itu pun dengan sangat malu. Tetapi yah… lagi-lagi itulah pendidikan: ada saja guru yang memformat murid agar menjadi teroris dengan melukai jiwa anak-anak itu… Memformat murid dengan menitipkan bibit subur bernama dendam di hati anak-anak.
Sekarang saya menjadi orangtua. Sama seperti umumnya orangtua, saya tak tahu apakah jiwa anak-anak saya akan dirusak oleh guru yang salah, guru yang bermasalah, guru yang bersekolah guru dan menjadi guru karena terpaksa, guru yang boleh jadi menderita karena imbalannya kurang memadai sehingga tak mengajar dengan cinta…
Setelah menjadi orangtua saya ingin kembali ke masa kanak-kanak lagi setiap kali teringat Totto-Chan. Dia gadis kecil Jepang menjelang Perang Dunia II yang bersekolah di tempat bersahaja dengan guru yang memahami anak-anak, mengajarkan cinta kasih…
Selamat Hari Pendidikan Nasional. Mari kita peringati dengan lagu wajib Another Brick in the Wall.
Trek bonus:
+ Sekolah: pembentuk atau dibentuk?
+ Ujian negara menentukan nasib guru