Lovers’ Lane Pinggir Jalan Tol

▒ Lama baca 2 menit

KOMPROMI PUBLIK: MELALUI PERDA, LASKAR AKHLAK, ATAU LAINNYA?

pacaran di pinggir jalan tol

Oh, ternyata dalam gelap itu ada yang pacaran. Silakan saja. Tak akan saya usik. Lebih berbahaya ular berbisa dan penodong daripada orang memadu kasih — kecuali salah satu atau keduanya berubah menjadi ular berbisa dan penjenayah yang kemudian berbuah jenazah.

Di situ, jembatan penyeberangan yang satu itu, orang jarang melintas. Apalagi malam hari. Motor pun jarang memanfaatkannya. Untuk mengaksesnya dari tepi luar jalan tol penyeberang harus masuk ke jalan setapak berpagar.

Ternyata malam tadi sekitar pukul delapan, di kaki jembatan sebelum tangga curam, ada mereka dalam keremangan yang menuntut kamera saku murahan membuka rana satu detik. Tak apa. Silakan saja.

Setiap kota memerlukan lovers’ lane. Rumah-rumah warga terlalu sempit untuk sekadar berdua. Maka satu-dua ruas jalan tol JORR antara TMII dan Bekasi pun menjadi jalur asmara. Seolah ada dua dunia: pengemudi dan penumpang mobil yang melesat, dan pasangan kasmaran di atas jok motor yang berhenti. Satu detik bagi mobil bisa berarti 40 meter. Sedetik lainnya, bagi orang lain di atas motor, bisa berarti cicilan kesempatan — tanpa membuat motor terguling.

Pada sore hari beberapa warga mencari udara dengan berdiri di atas jembatan. Mereka menonton mobil melintas. Saya tak tahu apakah mereka memergoki beberapa Ferrari dan Porsche seperti yang kadang setengah terbang membelah jalan tol Prio-Cawang dan JORR TB Simatupang pada dini hari.

Janganlah meledek rakyat biasa yang mendapatkan hiburan dari melihat mobil melintas. Mereka yang lebih makmur juga melakukannya: melalui video, majalah, dan motor show berkarcis.

Lovers’ lane. Tanpa hipokrisi Bang Ali pernah mengakui bahwa Taman Monas Jakarta dulu dibikin agar orang yang rumahnya sempit bisa pacaran di sana. Taman Impian Jaya Ancol pun setengah menutup mata menoleransi, dengan peringatan jauhi karbonmonoksida akibat mobil berhenti dengan mesin dan aircon menyala.

Koran Tempo beberapa waktu lalu melaporkan bahwa jalan layang Pasar Rebo, Jakarta Timur, menjadi tempat indehoy. Bermula dari satu motor, lalu lainnya ikutan: melayangkan rasa tanpa di jalan layang. Ada sih yang lucu, “Ujan sedikit langsung bubar, takut kesamber geledek.”

JORR Jatiwarna Pondokgede

Haram? Zina? Bergantung pada situasi, kondisi, dan toleransi lingkungan. Asal penerangan memadai, keamanan terjaga, para pelaku mungkin agak mengerem. Yang penting tak ada kejahatan di sana. Yang penting tak bikin macet.

Mmmm… tapi susah juga sih. Di Bukit Jangli, Semarang, lampu-lampu dipecahi supaya gelap. Hanya lampu mobil yang sejenak akan menyadarkan sebagian dari mereka yang duduk di atas motor, memunggungi jalan. Para pelintas pun sebetulnya bagian dari kontrol sosial.

JORR Jatiwarna Pondokgede

Kontrol sosial terhadap aktivitas pribadi di ruang publik bisa ditempuh dengan banyak cara. Kadang tanpa perda. Mungkin tak perlu laskar pengibar akhlak. Di jalur samping jalan tol, dari arah TMII ke Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, pada siang hari ada saja orang mengintip taman dari lubang tembok terakota. Beberapa pengintip memanjat pohon akasia.

Saya tak tahu, misalkan ada suara mengaduh, hal itu datang dari dalam balik rimbun bugenvil di dalam taman ataukah dari orang yang terjatuh karena cabang pohonnya getas.

Tinggalkan Balasan