DIMULAI DARI BERKENALAN. SEDERHANA SIH.
Judul gombal. Cuma memancing perhatian. Tapi sabar. Tunggu dulu. Tadi siang jelang sore di tengah hujan, saat menunggu jemputan di teras sebuah pusat perbelanjaan, saya mendapatkan sebuah pengalaman. Seorang Nona Manis, resepsionis, usai menutup telepon langsung bilang ke satpamwan bersafari gelap di sebelahnya, “Orang yang itu tuh, nelpon dari depan sana.” Lalu keduanya tertawa kecil.
Dasar tak tahu malu, saya pun nimbrung, “Cieeee… sering ya dikontak-kontak?” Si Nona tersenyum manis. Satpamwan tertawa ramah. Mungkin dia pikir sesama profesi tak perlu berahasia.
Maka inilah skenario di benak saya. Seorang pria memergoki keberadaan si Nona di pintu depan. Sekeluar dari gedung, dia mengontak manajemen plaza. Lantas tersambunglah ke si Nona. Hai, hai, hai, halo, halo, anu, anu, entah, embuh…
Sederhana. Tak ada yang baru. Roman picisan lama pun punya itu: dua insan berkenalan, kadang atas nama sebuah kebetulan, seterusnya blablabla. Bisa saja they live happily ever after, bisa juga bubar di tengah jalan.
Apa istimewanya? Tidak ada. Tapi bagi sebagian orang, nyali untuk mengajak berkenalan itu belum tentu ada. Mungkin malu. Mungkin jaim. Atau malah tak terpikir. Atau lupa — tapi esoknya getun.
Meskipun begitu saya sering mendapat keluhan, baik dari pria maupun wanita lajang, yang begini macamnya: jangankan pacar, untuk mencari kenalan saja sulit. Jakarta yang berjuta jiwa ternyata memberikan pilihan terbatas. Jejaring sosial maya dan sejenisnya ternyata tak menjadi lahan perburuan segampang (maaf) kebun binatang.
Mungkin kalau hanya teman kencan sih gampang. Tapi lagu wajib when a date becomes a mate boleh jadi memang bagian dari kepelitan sejarah — setidaknya bagi orang tertentu.
Menurut Anda?