Hammock Kere dan Materi Bekas Kampanye

▒ Lama baca < 1 menit

MARI MENYAMPAH SETELAH PEMILU USAI.

Tak jauh dari resto masakan peranakan yang bertetangga dengan kedai steak, dan agak jauh dari sebuah hotel bagus, wanita itu tertidur pulas dalam pelukan hammock yang dikelilingi tanaman sehingga tak tampak dari jalanan. Ranjang gantung berbahan spanduk itu bertuliskan, “pencanangan gerakan…” dan “pembumian akhlak”. Ada pula tulisan “Grand Ballrom Hotel…”

Titik-titik dalam kutipan ini artinya tak terbaca — dan saya tak ingat.

Kemarin itu, sambil berjalan kaki, dari Blok M ke arah Gandaria, Jakarta Selatan, saya pun melamunkan banyak hal.

Orang itu pintar mencari tempat untuk merebahkan badan di kota yang warganya dibiasakan berebut ruang.

Pepohonan penaung ranjang gantung itu berlokasi di salah satu sudut tikungan yang menjadi bagian dari perempatan yang ramai. Penyeberang harus berhati-hati. Pemobil maupun pemotor gatal menglakson — kadang tak jelas alasannya.

Dia, yang sedang tidur itu, juga pintar memanfaatkan bahan. Spanduk tak hanya bisa dijadikan pakaian tetapi juga bisa jadi hammock. Apa pesan dalam spanduk barangkali tak penting baginya.

Oh, pesan dalam spanduk! Ya, Anda juga tahu, inilah hari-hari panjang ketika semua sudut kota, bahkan desa, diramaikan poster, baliho, bilbor, dan spanduk kampanye caleg (dan capres). Ada yang berbahan kertas, plastik, dan ada pula kain.

Teknologi cetak digital, dan kemajuan sablon, menjadikan atribut pengganggu mata dan penguji batas kekesalan itu mudah dibikin. Dalam jumlah besar. Diproduksi di banyak tempat. Disebar ke segala penjuru. Saya tak tahu berapa persen dari pemasang media luar ruang itu yang setor pajak reklame.

Setelah hiruk pikuk pemilu ini usai, akan diapakan material kampanye itu?

Semoga yang berbahan plastik dapat didaur ulang. Dan yang berbahan kain dapat dipakai untuk apa saja — asal bukan untuk gantung diri.

Tinggalkan Balasan