↻ Lama baca < 1 menit ↬

MENIMBANG STANDAR INDUSTRI PERIHAL KECANTIKAN.

Hari ini Noni Barbie genap 50 tahun. Tak sedikit wanita yang kesal kepada pemilik pinggang ramping dan buah dada membusung itu. Bukan karena iri apalagi dengki melainkan karena menolak pemformatan standar kecantikan oleh industri. Jika menyangkut (calon) anak-anak perempuan mereka, standar itu akan mengerikan karena bisa saja gadis-gadis kecil sejak dini belajar membenci dirinya sendiri jika sosok fisiknya tak serupa boneka bernama Barbara Millicent Roberts.

Hanya orang bodoh yang ingin menjadi Barbie, kata orang sok bijak. Apalagi sosok Barbie lama yang tak proporsional, kata yang lainnya.

Bukan ingin menjadi fotokopi Barbie yang berbahaya, melainkan obsesi untuk menjadi cantik sesuai selera pasar pada suatu periode. Begitu kata sebagian orang.

Selera pasar di sini tak hanya model iklan kosmetika melainkan juga halaman gaya majalah wanita, film, sinteron, dan seterusnya.

Cantik itu ramping, payudaranya tegak kenyal, dan kulitnya terang. Begitukah?

Sebagai kalimat verbal, lontaran saya itu berkemungkinan membuat wanita gusar. Celakanya, pesan yang muncul dalam media seringkali tak seeksplisit itu. Jika ditambah gurauan dan obrolan pria, tentang sosok (fisik) wanita yang indah, maka semakin lengkaplah sumber kekesalan.

Persoalan kita adalah setelah sekian dasawarsa kontroversi itu mengemuka, bahkan melalui pergantian abad, adalah ini: sudah banyak berubahkah konsumen terutama wanita?

Seorang wanita muda yang langsing, berkulit terang, berpayudara kencang meskipun tak besar, menolak standar kecantikan industrial yang tak semena-mena.

“… Tapi Anda jangan nyodorin jebakan Batman,” katanya. “Saya nyaman dengan tubuh saya dan mempertahankan itu karena alasan kesehatan dan… yah jujur aja menyangkut estetika yang saya yakini. Tapi kalau Anda sebagai lelaki nanya mulu apakah suatu saat saya akan membiarkan kulit jadi item lalu badan saya biarin jadi banyak lemak, maka itu sama saja Anda tendensius, memojokkan wanita.”

Saya yakin wanita cantik itu bukan sampel yang representatif dari kaumnya. :)

© Sumber ilustrasi: unknown

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *