Apa sih yang disebut identitas Indonesia secara visual? Belum selesai dan tak perlu selesai. Kita terus mencari jati diri.
↻ Lama baca 2 menit ↬

SEBIDANG RUANG DI GRAND INDONESIA.

Tutup got New York untuk hiasan di mal Jakarta

Dasar saya kampungan dan mendua maka hasilnya adalah keterasingan di Grand Indonesia. Kampungan, karena saya sadar sedang di Jakarta, tapi dalam tempo singkat berpindah suasana ke Jepang lalu Amrik lantas entah mana lagi. Mendua, karena untuk tema kedai atau kantor (apalagi rumah) saya bisa menerima, bahkan kadang demen, tetapi untuk sebuah tata ruang publik yang lebih besar, yaitu mal, saya tak merasa cocok, lalu merasa aneh.

Ada seksi ruang yang dinamai Soho, interiornya diupayakan nge-NuYok. Imitasi digeber. Artifisial tapi tak mengenakkan. Dan entah kenapa di sebuah tempat premium, campur aduk itu bukannya jadi keren tapi terasa memaksa. Ikon James Dean dan Marilyn Monroe untuk penanda kelamin toilet menjadi tak jelas, untuk humor atau penghormatan.

Penanda toilet pria dan wanita di Grand Indonesia Jakarta

Jika tema ruangnya adalah regional yang membenua, seperti di Mal Artha Gading, Jakarta Utara, yah bolehlah. Bukankah citra dan segmennya beda? Begitu pula dengan area belanja di mal yang keparis-parisan supaya konsumen mendadak bercita rasa Prancis.

Akan tetapi, oh aspal dengan penutup got itu (dalam mal!) telah mengasingkan saya. Begitu pula peringatan gaya gerbong sepur di peturasan. Hanya tenant seperti Blitz, yang menjadi pemula, yang bisa habis-habisan menjadi dirinya sendiri sebagai Indonesia masa kini — tapi toilet hitam itu lain soal. Adapun sisa ruang lainnya di lantai-lantai di bawahnya kurang mengesankan sebuah nama Grand Indonesia.

Dekorasi kereta New York di mal Grand Indonesia Jakarta

Jadi, siapa yang kampungan?

Lagi-lagi saya. Sebagai warga Jabodetabek dari perumahan rakyat di Pondokgede, baru kemarin saya ke bekas Hotel Indonesia itu untuk menjelajahi. Sungguh basi. Tertinggal.

Kekampungan saya yang lain adalah saya memang tak paham arsitektur maupun desain interior. Itu bidang antah berantah bagi saya.

Jadi, apa persoalannya saya? Sebetulnya tak ada. Toh saya tak dirugikan. Saya malah menikmati penuh keheranansepenggal episode yang menjadi bagian dari babad besar bernama pencarian identitas (ke)Indonesia(an).

Bagi saya identitas Indonesia memang belum selesai dan tak perlu selesai. Kita melakukan tawar-menawar, saling tarik-ulur. Bukan sebagai penonton melainkan pemain. Saya memakai jins boleh merasa nyaman (dan semoga gagah), namun jika itu berbeda dari citra para sosok dalam komik riwayat Levi Strauss, ah itu bukan masalah saya. Itu masalah orang yang melihat kenapa matanya kurang toleran. Begitu pula (mungkin) pemilik mal beserta manajemen dan para desainer. Lebih dari itu tentu para pengunjung yang asyik-asyik saja bahkan berfoto bersama, sambil menunjukkan batik tulis mahal maupun “batik printing” murmer dari Cina (“bacin”, kata pedagang). Semua adalah Indonesia.

Lantas apa urusan orang kampungan seperti saya selain sebagai penonton? Ya berkomentar. Sesuatu yang ditujukan untuk — dan demi kenyamanan — publik boleh dicoletehi, kan? Maaf. :)

1 thought on ““Sampe Segitunya” (Sebuah Pencarian Identitas)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *