↻ Lama baca 2 menit ↬

MERIAHKAH MUSIK UNTUK PEMILU 09 KALAU EKONOMI MAKIN PARAH?

Dua hal tak berhubungan itu mengusik lamunan ngawur saya. CD Bonus lansiran KFC tergeletak dekat player, tapi yang sedang saya putar adalah Jet lag-nya PFM.

Kalau soal mana yang lebih bagus, itu wilayah selera. Anggap saja bagimu adalah musikmu dan bagiku adalah musikku. Tidak perlu dipertengkarkan. Misalkan Anda menyukai keduanya pun tak dianggap sinkretis maupun eklektis.

Bonus adalah lansiran jaringan kedai ayam goreng Kolonel Sanders di Indonesia — suatu hal yang mungkin akan disusul oleh Kolonel Pitu dengan warung nasi kucingnya.

Adapun PFM, grup Italia itu, dulunya adalah band yang (kabarnya) ditaja oleh pabrik roti. Ada yang bilang, Premiata Forneria Marconi itu cuma pinjam nama, tapi ada yang mengatakan itu betu-betul hubungan pensponsoran.

Sampai di situlah lamunan saya ngalor-ngidul-ngetan-ngulon. KFC menjadikan sekian album musisi (berikut kompilasi) sebagai alat pemasaran modern.Pembeli CD (lansiran sister company Music Factory Indonesia) direngkuh dalam komunitas konsumen, lengkap dengan segala gimmicks-nya (Benwal, apa bahasa Indonesianya “gimmick“?). Musik hanya jadi kendaraan, bukan (atau belum) mengubah KFC jadi label beneran.

Itu agak beda dari konser dan kompilasi CD Indonesia yang mengusung merek rokok dan operator selular. Sejak awal, setahu saya, para musisi bukanlah bentukan kumpeni-kumpeni itu.

Sponsorhip, endorsement, atau apalah nama yang tepat, juga menjadi pelancar karier musisi secara individual. Pick gitar dan stik drum disediakan oleh produsen.

Hal barukah itu untuk musik Indonesia? JSOP tentu lebih tahu tentang riwayat band Bentoel dan Ogle Eyes (Oepet?) pada awal 70-an. Pada pertengahan 70-an, Jamu Djago Semarang di bawah Jaya Suprana punya Gamelan Supra dan DG Band (antara lain membawakan lagu Manfred Mann’s Earth Band).

Nah, kolektor piringan hitam Mas Kelik van Gandem Marem Yogyakarta pasti lebih ingat soal beginian. Kalau tak salah, Favourite’s Group-nya A. Riyanto itu membawa nama Denma Polri. Adapun D’Lloyd jelas milik perusahaan pelayaran Djakarta Lloyd. The Tankers (di TVRI membawakan lagu brass-rock Ekseption, misalnya Sabre Dance) mungkin ada hubungannya dengan Pertamina. Saya pernah dengar, entah benar entah salah, The Brim’s itu dibekingi oleh Brimob. Whoa! Kalau C’Blues dan Rasella (Rajawali Selatan?) saya tak tahu. Adapun Gypsy, sejauh saya tahu, didukung oleh anggota keluarga bos Pertamina, bukan oleh perusahaan minyak itu.

Di kota kecil, misalnya Salatiga, band yang ada “dicukongi” oleh PLN dan BRI. Ada juga band, entah apa namanya, yang pasti bukan drum band, yang berlatih di markas kodim — tapi mereka orang sipil.

Tahun 70-71, Indonesia mengenal tur konser yang besar. Penyelenggaranya Artis Safari, wadah kesenian Golkar — partai yang mau mengaku sebagai partai itu juga bikin album. Waktu bocah saya menonton Freedom of Rhapsodia dalam pentas Safari di ndeso saya.

Selain Golkar, tentu, lagi-lagi tentara. Kamera Ria TVRI itu di bawah Puspen Hankam/ABRI. Entahlah apakah serdadu berbaret yang tidak keplok, atau menolak goyang dalam shooting, akan dijebloskan ke dalam sel.

Jadi, dulu itu ada wilayah bisnis (mungkin atas nama PR maupun CSR), dan ada pula wilayah politik dalam urusan “membina” musisi. Selain “pembinaan” tentu juga keberpihakan. Rhoma Irama dulu mendukung PPP, dan Tarantula mendukung Golkar. Pernah ada lagu untuk Bung Karno, dan ada pula lagu untuk Bapak Pembangunan. Ada juga lagu untuk Ali Sadikin. Kalau Genjer-genjer, setahu saya, pada mulanya itu tak dihubung-hubungkan dengan PKI, tapi kemudian menjadi sesuatu yang haram dalam dunia musik kita. Saya belum tahu apakah ada RBT-nya.

sekarang saya juga belum tahu sudah ada berapa CD dan MP3 siap unduh untuk Pemilu 2009. Barangkali Anda sudah mendatanya?

Bonus tracks: Untuk Munir

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *